Aku Juga Ada di Sini

19 Januari, 2012

Lukisan Kaligrafi: Menjadi Santri “Kalong” Gus Mus Melalui Karya-Karyanya


Lukisan KaligrafiLukisan Kaligrafi by A. Mustofa Bisri
My rating: 3 of 5 stars

Ketika membaca kelima belas cerpen dalam Lukisan Kaligrafi, kita seakan sedang menjadi santri “kalong” (orang yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren) pengarangnya, A. Mustofa Bisri yang biasa dipanggil Gus Mus. Cerpen-cerpen beliau ini mengandung nasihat, baik secara tersurat maupun tersirat, yang dapat kita renungi dan ambil hikmahnya.


Selain nasihat, melalui Lukisan Kaligrafi kita juga dapat menangkap potret kehidupan masyarakat Jawa Timur, khususnya yang berkaitan dengan pesantren. Tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri kebanyakan berasal dari keluarga kiai atau (pernah menjadi) santri. Gus Mus juga berusaha menyingkap dunia Islam di Jawa yang terpengaruh animisme dan dinamisme.





Cerpen pertama, Gus Jakfar, bercerita mengenai Gus Jakfar, anak seorang kiai yang memiliki indera keenam. Dengan indera keenamnya itu, Gus Jakfar bisa tahu apa yang akan terjadi pada seseorang. Misalnya, ia bisa tahu orang yang sebentar lagi dilamar atau orang yang hampir meninggal hanya dengan melihat kening orang itu. Gus Jakfar mendapat petunjuk dalam mimpinya untuk pergi menemui Kiai Tawakkal. Kiai Tawakkal atau Mbah Jogo adalah sosok seorang kiai tua yang disegani, berilmu tinggi, dan berkepribadian hangat. Alangkah kagetnya Gus Jakfar tatkala melihat tanda “ahli neraka” di kening Kiai Tawakkal. Saat Gus Jakfar mencari kepastian akan hal tersebut, Kiai Tawakkal menasihatinya supaya lebih berhati-hati bila mendapat cobaan berupa anugerah. Setelah pertemuannya dengan Kiai Tawakkal, Gus Jakfar tidak lagi sering memberitahu orang lain tentang apa yang ia lihat melalui indera keenamnya.


Melalui cerpen-cerpennya, Gus Mus berusaha mengkritik sekaligus menasihati orang-orang yang belum meresapi makna sebenarnya dari Ramadhan dan pengajian. Cerpen “Gus Muslih” menyayangkan orang-orang yang setelah melalui bulan Ramadhan pun masih memelihara kebencian setan. Banyak yang seperti merayakan kemenangan kosong (Bisri, 2003: 19). Para maniak pengajian dikritik oleh Gus Mus dalam “Mubalig Kondang”. Walaupun mereka rajin mengikuti pengajian di sana-sini, kelakuan buruk mereka tidak berubah. Pengajian-pengajian yang mereka datangi hanya masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Mubalig yang sering berbicara dalam pengajian pun tidak luput dari kritik Gus Mus. Dalam “Amplop-amplop Abu-abu”, Gus Mus mengingatkan para mubalig supaya menasihati orang lain dengan cara yang baik dan tidak lupa melaksanakan apa yang dinasihatinya itu.


“Kang Kasanun”, “Mbah Sidiq”, dan “Ngelmu Sigar Raga” memperingatkan kita bahaya dari ilmu kanuragan, ilmu beladiri yang ditumpangi ilmu klenik. Ilmu ini biasa dipakai oleh orang-orang “sakti” atau “pintar”. Seperti indera keenam yang dimiliki Gus Jakfar dalam “Gus Jakfar”, ilmu ini juga merupakan cobaan berbentuk anugerah dari Allah. Bila anugerah ini diselewengkan, nasib buruk akan menimpa pelakunya atau orang-orang di sekitarnya.


Kang Kasanun dalam “Kang Kasanun” menyesali masa mudanya. Ia tidak hanya mempraktekkan ilmu halimunan untuk tujuan yang tidak baik tapi juga mengajarkannya pada teman-temannya yang akhirnya menjadi dukun. Lewat pengakuan Kang Kasanun, Gus Mus mengingatkan kita supaya mencari ilmu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi sesama.


“Mbah Sidiq” adalah penggambaran suatu penipuan yang kerap kali terjadi di masyarakat. Dalam cerpen ini, Mbah Sidiq yang sangat disanjung dan dianggap orang “pintar“ oleh Nasrul ternyata seorang penipu. Orang yang sungguh-sungguh kita percaya dan kagumi bisa jadi malah menjerumuskan kita dengan meminta dan mengambil segala yang kita punya.


“Ngelmu Sigar Raga” bercerita tentang seseorang yang mendapat ijazah istimewa. Ngelmu Sigar Raga berarti berguru untuk memperoleh ilmu “membelah” tubuh. Si “aku” “membelah” tubuhnya menjadi dua. Satu tinggal di rumah untuk mengurus ibunya, satu lagi pergi ke kota. Si “aku” yang pergi ke kota aktif di sebuah partai sampai menjadi pejabat yang congkak. Ketika mendapat tugas pembinaan ke daerah, “aku” pulang ke rumah ibunya. Ibunya tidak kaget seperti yang diharapkan oleh “aku”. Rupanya “aku” lupa kalau ia meninggalkan “belahan tubuhnya” di rumah untuk mengurus ibunya.


“Iseng” memiliki kesamaan dengan “Mubalig Kondang”. Dalam kedua cerpen ini, si “aku” menemukan teman lama dalam pengajian sebagai mubalig dan mubaligah terkenal. Sosok kedua teman lama itu kini berbeda jauh dengan yang dikenal “aku” dulu. Dalam “Iseng”, perempuan yang dicintai “aku” semasa muda kini tidak secantik dan seanggun dulu lagi. Dalam “Mubalig Kondang”, teman satu pesantren “aku” yang dulunya badung dan sering mendapat hukuman kini menjadi mubalig yang memiliki karomah begitu besar. Orang bisa berubah, apalagi setelah melalui waktu puluhan tahun. Tidak ada yang dapat memastikan seperti apa perubahan itu. Wallahu alam.


Jalan Allah memang sering kali tak dapat diduga oleh umat-Nya. Pesan ini tampak dalam “Ning Ummi” dan “Kang Amin”. Ning Ummi dalam “Ning Ummi” adalah idola di Pesantren Tarbiyatut Mu’allimin wal Mu’allimat. Semasa menjadi santri, Ning Ummi yang berpikiran maju menghendaki suami yang muda dan intelek. Setelah lulus dari pesantren tersebut, lama baru terdengar kabar dari Ning Ummi. Ternyata Ning Ummi menjadi istri keempat dari seorang kiai tua terkenal. Kang Amin dalam “Kang Amin” lebih mengejutkan lagi. Setelah berturut-turut gagal menyatakan keinginannya untuk mengawini putri-putri kiai, Kang Amin mengawini janda kiai.


Gus Mus secara halus mewanti-wanti umat muslim supaya waspada terhadap sekte-sekte yang banyak bermunculan dewasa ini melalui cerpen “Bidadari Itu Dibawa Jibril”. Bahkan, seorang muslimah yang saklek seperti yang diwakilkan Hindun dalam cerpen tersebut dapat terjerat. Sekte yang pada awalnya mendompleng pengajian Islam itu lama-lama menuntun pengikutnya ke jalan yang sesat, entah masih dengan embel-embel Islam atau tidak sama sekali.


Betapa besarnya kekuatan doa seorang yang sungguh-sungguh meminta kepada-Nya dilukiskan pada “Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi”. Pasca ledakan bom di Bali, Siti mengkhawatirkan suaminya, Mat Soleh, yang tidak pulang juga padahal Lebaran tinggal satu hari lagi. Kekhawatiran Siti memuncak saat beberapa petugas menggeledah rumahnya untuk mencari Mat Soleh. Koran-koran keesokan harinya pun mengungkapkan hal yang sama. Siti terus berdoa pada Allah dan… masya Allah, suaminya pulang dalam keadaan seperti sedia kala!


Mbok Yem dalam “Mbok Yem” adalah mantan PSK (Pekerja Seks Komersial) yang disadarkan oleh pelanggannya, Mbah Joyo. Mereka rela hidup tirakat dalam waktu cukup lama supaya bisa naik haji dan mendapat pengampunan dari Allah. Bukti bahwa Allah Maha Pengampun adalah Dia memberi kemudahan jalan bagi hamba-Nya yang sungguh-sungguh bertobat dan kembali ke jalan-Nya. Mbah Joyo mengalaminya manakala ia bertemu dengan seorang muda yang mengantarnya dengan kendaraan bagus ke Mina sehingga perjalanannya lebih ringan.


“Ndara Mat Amit” mengajarkan kita untuk tidak menilai seseorang dari penampilan dan sikapnya saja. Ndara Mat Amit yang garang dan selalu mencaci tiap kali bicara pada orang lain dan Kang Min yang hanya seorang kusir dokar ternyata adalah wali mastur, wali yang menyembunyikan kesalehannya dan selalu menghilang bila ketahuan umum.

Gus Mus yang juga seorang pelukis mencoba menggambarkan betapa ironisnya kesenian yang berdampingan dengan bisnis melalui cerpen “Lukisan Kaligrafi”. Lukisan-lukisan kaligrafi Hardi terjual mahal walaupun pelukisnya sendiri tidak mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Dengan kata lain, Hardi sukses karena ia pandai menilai minat pasar. Kepandaiannya itu ia terapkan pula pada lukisan Ustadz Bachri. Tidak hanya memberi judul yang hebat—Alifku Tegak Di Mana-mana—Hardi juga memberi lukisan itu makna dan falsafah yang luar biasa. Lukisan itu pun dibeli oleh seorang kolektor seharga 10.000 dolar Amerika Serikat. Seni yang sesungguhnya dan seni yang telah terkontaminasi oleh bisnis memang kini sulit dibedakan.


Hal yang mirip dari Gus Mus dan Umar Kayam adalah keduanya sama-sama ingin menjelajah kemungkinan-kemungkinan dalam karyanya masing-masing. Akan tetapi, kemungkinan-kemungkinan dalam karya-karya Gus Mus terasa lebih kontras karena perbedaan yang mengejutkan antara awal dengan akhir cerita. Umar Kayam lebih banyak mengalirkan cerita begitu saja dan tidak pernah menjelaskan perihal kemungkinan tersebut melalui pesan tersurat pada pembacanya.


Pembaca kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi ini secara tidak langsung menjadi santri “kalong” Gus Mus yang berusaha membukakan pemahaman dan pandangan baru dengan cara yang halus. Cara ini Gus Mus ungkapkan dalam “Amplop-amplop Abu-abu”. Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik (Bisri, 2003: 25).


View all my reviews

7 komentar:

  1. aduhhh panjang bener Mel ...aku cuma baca 4 paragraf awal doank ck ck ck beneran serius sastranya ini. Baru tahu ada yg namanya Santri kalong ya iya penulis mampu melihat apa yg selama ini luput dr kita

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini tugas kuliah waktu S1 dulu :)) makanya panjang, makasih dion udah mampir ;)

      Hapus
  2. Blog walking..salam kenal
    wah sy sdh lama pengen baca buku Gus Mus yang ini, dapat di mana nih buku nya sdh kynya sdh jarang sekarang ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah sekarang nggak tahu bisa carinya di mana, dulu aku dapet dari almarhum dosenku :)
      terima kasih sudah berkunjung

      Hapus
  3. harga novelnya and toko penjualnya ?

    BalasHapus

Tinggalkan Komentar di Sini :)