Aku Juga Ada di Sini

30 Maret, 2012

Perempuan-perempuan yang Bermimpi


Tarian BumiTarian Bumi by Oka Rusmini
My rating: 5 of 5 stars

Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini menggunakan narrative order yaitu narasi yang dimulai di tengah-tengah perkembangan kejadiannya sesuai dengan pengisahannya. Telaga sebagai pencerita memberitahu kita sejarah keluarganya dari kedua neneknya (Ida Ayu Sagra Pidada dan Luh Dalem) sampai dirinya memiliki seorang anak, Luh Sari.


Bila diceritakan secara kronologis, novel ini dapat dimulai dengan perjalanan hidup Luh Sekar, ibu Telaga. Selama masih menjadi perempuan sudra (kasta terendah dalam masyarakat agama Hindu) atau orang kebanyakan, keluarga Luh Sekar hidup miskin dan dikucilkan masyarakat karena ayah Luh Sekar yang telah pergi dari rumah adalah seorang anggota PKI. Dalam tekanan itu, Luh Sekar berambisi mendapat pengakuan dari masyarakat dengan menjadi pragina, primadona dalam grup tari. Mimpi ini tidak dengan mudah ia raih. Setelah berhasil menjadi pragina, Luh Sekar bermimpi lagi, kali ini menjadi seorang brahmana (kasta tertinggi dalam masyarakat agama Hindu).


Mimpi Luh Sekar menjadi seorang brahmana harus dibayar mahal. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, Sekar harus berpisah dengan Luh Dalem, ibunya, dan Luh Kenten, sahabat satu-satunya. Dalam kehidupan barunya pun Sekar mengalami banyak kesulitan. Suaminya, Ida Bagus Ngurah Pidada, gemar main perempuan, berjudi, dan mabuk-mabukan. Ibu mertuanya, Ida Ayu Sagra Pidada, selalu menyalahkan Sekar perihal tingkah laku suaminya itu. Sekar sadar kalau semua kesulitan yang dihadapinya itu adalah konsekuensi dari mimpinya. Karenanya, Sekar menerima perlakuan ibu mertuanya terhadapnya.


Ida Ayu Telaga Pidada lahir dengan dibebani mimpi-mimpi Sekar. Telaga diingini menjadi perempuan terbaik, tercantik, dan nantinya menikah dengan seorang Ida Bagus. Telaga belajar pada Luh Kambren, guru tari terbaik dan termahal di seluruh desa. Luh Kambren mengakui Telaga sebagai murid terbaiknya, perempuan yang tepat untuk diberi taksu miliknya. Telaga pun menjadi penari terbaik dan tercantik seperti yang diidam-idamkan oleh ibunya.





Telaga menganggap ibunya, neneknya, dan guru tarinya sebagai tiga perempuan yang menjadi peta dalam proses kelengkapan pembentukannya sebagai perempuan. Pengalaman-pengalaman hidup dan nasihat-nasihat mereka Telaga serap maknanya baik-baik. Nasihat yang paling berpengaruh bagi Telaga adalah nasihat neneknya tentang bagaimana memilih laki-laki.


“Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko.” (Rusmini, 2004: 21)



Telaga menolak semua Ida Bagus yang disodorkan ibunya. Sejak masih kanak-kanak, Telaga mencintai Wayan Sasmitha, pelukis muda yang sering mengunjungi kakek Telaga. Saat Wayan melamarnya, Telaga sadar kalau konsekuensinya sangat besar. Ia tidak hanya dikucilkan oleh kaum brahmana, kaum sudra pun menganggap pernikahannya dengan Wayan sebagai aib. Setelah menikah, Wayan sering pergi berbulan-bulan karena pekerjaannya. Selama itu pula, Telaga menerima kata-kata pedas dari Luh Gumbreg, ibu mertuanya, dan Luh Sadri, adik iparnya. Luh Gumbreg menganggap Telaga menyusahkan sedangkan Luh Sadri sudah sejak dulu dengki padanya. Saat Luh Sari, anak Telaga dan Wayan, berusia lima tahun, Wayan meninggal karena sakit. Luh Gumbreg mengkambinghitamkan Telaga.


Pada akhir novel ini, Telaga melakukan upacara patiwangi atas permintaan Luh Gambreg. Upacara ini dilakukan untuk pamit pada leluhur di griya (rumah untuk kasta brahmana) sekaligus secara resmi menjadi perempuan sudra. Dengan menjadi perempuan sudra, Telaga memang mengkhianati mimpi ibunya tapi juga berarti ia berani menanggung konsekuensi pilihannya menerima lamaran Wayan Sasmitha.


Siapa pun yang bermimpi harus giat berusaha dan berani menanggung konsekuensinya—sebesar apa pun itu, termasuk jika mimpi itu hancur. Perempuan-perempuan dalam novel ini adalah perempuan-perempuan yang teguh dalam pencapaian mimpinya dan berani menanggung konsekuensi tersebut.


Satu hal yang meninggalkan misteri adalah tusuk konde yang diturunkan oleh Luh Dalem pada Sekar kemudian diturunkan lagi pada Telaga. Ada getaran aneh mengalir dari benda itu (Rusmini, 2004: 221). Baik Sekar maupun Telaga, semasa muda mereka mengaku merasa ada sesuatu yang ditanamkan oleh ibu mereka setiap kali menari. Bisa jadi tusuk konde itu adalah susuk yang bisa memikat orang lainnya pada pemakainya. Di balik semua itu, tusuk konde tersebut juga menjadi simbol kasih sayang ibu kepada putrinya. Meskipun Sekar sakit hati akan keputusan Telaga untuk menikah dengan laki-laki sudra, Sekar memberikan tusuk konde tersebut karena ia tetap mencintai putri semata wayangnya itu.


Dalam novel Tarian Bumi ini, Oka Rusmini menuangkan pemikirannya tentang budaya Bali yang telah menyatu dengan agama Hindu. Oka Rusmini yang terlahir sebagai seorang brahmana menghadapi pilihan sulit saat sudah dianggap layak untuk menikah. Kenapa laki-laki brahmana dapat menikah dengan perempuan mana saja sedangkan perempuan brahmana harus “turun kasta” bila hendak bersuamikan laki-laki dari kasta yang lebih rendah?


Alangkah mujurnya makhluk bernama laki-laki. Setiap pagi para perempuan berjualan di pasar, tubuh mereka dijilati matahari. Hitam dan berbau. Tubuh itu akan keriput. Dan lelaki dengan bebasnya memilih perempuan-perempuan baru untuk mengalirkan limbah laki-lakinya. (Rusmini, 2004: 43)



Cuplikan di atas adalah pendapat Luh Kenten terhadap laki-laki. Berdasarkan pendapatnya inilah Luh Kenten memutuskan untuk hidup tanpa laki-laki. Tarian Bumi memang memberi penilaian yang buruk terhadap laki-laki. Ayah Luh Sekar anggota PKI yang konon memimpin pembantaian di desanya. Suami Sekar laki-laki yang bisanya hanya kelayapan dan akhirnya mati di tempat pelacuran. Kakek Telaga melupakan istrinya dan tidak mengacuhkan anaknya. Putu Sarma, suami Sadri, menggoda Telaga setelah Wayan meninggal. Satu-satunya laki-laki yang “lurus” adalah Wayan. Pengarang pun tidak memberinya banyak waktu untuk membahagiakan istrinya.


Lewat Luh Kambren, Oka Rusmini juga mengkritik orang-orang asing yang dengan culas memanfaatkan perempuan-perempuan Bali. Dengan dalih kesenian, mereka menelanjangi perempuan-perempuan Bali dan menjadikan mereka aset demi kepentingan pribadi.


Tokoh-tokoh dalam Tarian Bumi tidak bernasib baik. Telaga sendiri menghadapi banyak tokoh antagonis seperti Sekar, Luh Gumbreg, Luh Sadri, dan adat Bali sendiri. Tokoh yang nasibnya paling buruk adalah Luh Dalem. Hidupnya dan anaknya sudah cukup sulit sebelum ia dirampok dan diperkosa. Tidak hanya itu, Luh Dalem kehilangan penglihatannya dan hamil. Walau demikian, Luh Dalem tidak pernah mengeluh pada hidup. Perempuan itu justru tersenyum kalau dilihatnya hidup menuntutnya terlalu banyak (Rusmini, 2004: 102).


Hidup memang keras. Hidup menghimpit kita dengan berbagai keadaan yang menyulitkan. Namun, kita tidak sepatutnya pasrah menerimanya. Nasib seseorang takkan berubah tanpa usahanya sendiri. Manusia berusaha karena manusia bermimpi. Seperti perempuan-perempuan yang bermimpi dalam Tarian Bumi, mimpi itu memiliki konsekuensi yang kadang tak terduga. Akan tetapi, mimpi jugalah yang membuat hidup lebih berarti.


View all my reviews

8 komentar:

  1. nuansa balinya kental ya mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah jarang ya ada novel dengan unsur Bali yang kental gini, apalagi antara kaum Brahmana dan Sudra. Itu tusuk kondenya sekarang dimana Mel? wah dasar laki-laki emang mau enaknya saja #eh

      Hapus
    2. disimpen kali sama Telaga, aku mau minjem ga dikasih #eh

      Hapus
  2. “Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko.” (Rusmini, 2004: 21)

    Jitu quotes nya!! Bukunya menarik nih, udah lama ngga baca buku dengan latar budaya Bali yang menurutku cukup complicated, hehe :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. selain Oka Rusmini, karya-karya Putu Wijaya dan Putu Oka Sukanta juga patut dibaca untuk mendapatkan gambaran tentang budaya Bali :)

      Hapus

Tinggalkan Komentar di Sini :)