Aku Juga Ada di Sini

22 Juni, 2010

Assassin’s Creed Renaissance: Kebenaran Akan Ditulis dengan Darah

Pengarang: Oliver Bowden
Penerbit: Ufuk Press, Juni 2010
Harga: Rp89.900,00

Novel ini akan mempertemukan kita dengan Ezio Auditore, seorang pemuda tampan dan gagah, di kota Florence kebanggaan Italia. Sebagai calon pewaris salah satu bank terbesar di Italia pada masa itu, Ezio menghabiskan hari-harinya dengan membantu pekerjaan ayahnya…, kalau dia tidak sedang sibuk berpacaran dengan Cristina atau berkelahi dengan pewaris Pazzi yang congkak!

Namun, tiba-tiba hari-hari indahnya sirna ketika keluarganya dituduh mengkhianati Florence, bahkan ayah dan saudara-saudara laki-laki Ezio dihukum gantung di tengah kota. Setelah menyembunyikan ibu dan adik perempuannya, Ezio bertekad untuk memulai rangkaian pembalasan dendamnya, tapi ternyata masalah mereka lebih pelik dan mendalam daripada yang bisa Ezio duga.

Ayah Ezio adalah anggota Ordo Assassins yang telah lama berperang dengan Templars demi menggagalkan rencana jahat mereka yang ingin menguasai dunia. Ezio menemukan baju tarung ayahnya, sebuah senjata antik, dan secarik halaman Codex misterius. Dengan bantuan Leonardo da Vinci, Ezio berhasil memperbaiki senjata itu dan membuat senjata-senjata lainnya ketika semakin banyak halaman Codex yang dia kumpulkan dari musuh-musuhnya. Codex ini pula yang akan membimbing Ezio menuju rahasia terdalam Ordo Assassins, juga kekuatan terpendam di bawah Vatikan yang dikira sanggup menghancurkan dunia.

Menjelajahi Italia pada Zaman Renaissance
Novel ini dibuat berdasarkan game terlaris Ubisoft yang berjudul Assassin’s Creed II, juga sudah diadaptasi ke dalam bentuk layar lebar. Game bergenre role playing game memang biasanya mempunyai alur cerita yang kuat, tapi tidak diragukan lagi bahwa Assassin’s Creed II dibuat dengan bobot khusus dan kedalaman cerita yang setara dengan novelnya. Sementara tokoh utama dalam game Assassin’s Creed II berpindah-pindah dari masa kini ke masa lalu (dengan memasuki “pengalaman” Ezio), novelnya secara konsisten bercerita tentang Ezio Auditore di Italia abad 15-16.

Salah satu kekuatan dalam novel dan game ini adalah setingnya. Memang kalau kita memainkan game Assassin’s Creed II, kita bisa melihat langsung keindahan kota Florence dan tempat-tempat lainnya yang dikunjungi oleh Ezio di Italia. Namun, Oliver Bowden sebagai pengarang juga pandai menguraikan seting tersebut dalam kata-kata, bahkan memasukkan perasaan Ezio (yang tidak bisa disampaikan lewat game) terhadap Florence kota kelahirannya. Bowden tidak hanya berhasil menyajikan seperti apa kota-kota tersebut, tapi juga apa yang sedang terjadi di sana pada masa itu. Semangat dan kecemasan orang-orang Venesia terhadap abad baru (yang disertai desas-desus hari kiamat) adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dipercikkan kepada pembaca lewat novel ini.

Hal menarik lainnya dalam novel Assassin’s Creed: Renaissance adalah keberadaan tokoh-tokoh nyata yang difiktifkan. Kita akan diajak masuk ke dalam ruang kerja Leonardo da Vinci sang seniman sekaligus penemu, dan melihat bagaimana Niccolò Machiavelli sang filsuf terinspirasi untuk menulis bukunya yang terkenal, The Prince, tentang negara yang kuat. Ada juga pastor Savonarola yang memang pernah memerintah secara paksa di Florence pada 1494-1498. Musuh utama dalam novel ini, Rodrigo Borgia, adalah versi fiktif dari seorang kardinal Spanyol yang menjadi Paus Alexander VI pada masa senjanya. Bahkan, usaha pembunuhan Lorenzo de’ Medici (pemimpin Florence) oleh keluarga Pazzi diangkat dari kejadian nyata.

Bagaimanapun juga, membaca novel ini butuh kehati-hatian dalam berpikir. Ezio membunuh musuh-musuhnya, tapi dia tidak melakukan itu dengan senang dan berpuas hati (kecuali ketika membunuh dua orang yang menyebabkan kematian keluarganya secara langsung). Ordo Assassins juga menegakkan kebenaran dengan membunuh para Templars yang serakah dan merusak kedamaian. Tidak diragukan lagi, adegan sadis (tapi tidak membuat mual) berhamburan di mana-mana. Apakah ini cara yang benar untuk menegakkan kebenaran? Pembaca yang belum dewasa pikirannya sebaiknya tidak membaca buku ini sendirian.

18 Juni, 2010

Blaze of Glory: Jika Penyihir Bermain-main dengan Kematian

Di ambang ajalnya, Aubrey berusaha menyingkap pelaku kejahatan yang mengancam kedamaian Kerajaan Albion...

Apa yang akan kau lakukan kalau menjadi Aubrey Fitzwilliam, putra tunggal dari mantan perdana menteri yang disegani? Semua orang menaruh harapan tinggi padanya, sekaligus menantinya jatuh supaya mereka bisa mencemari nama baik ayahnya. Aubrey pun berusaha memenuhi harapan itu dengan mencetak prestasi yang luar biasa di sekolah, tapi sebuah kecelakaan sihir hampir menjungkir segalanya.

Sejak kecil, bakat sihir Aubrey sudah jelas terlihat. Dia bisa menerapkan hukum-hukum sihir yang rumit untuk menguping orangtuanya di perpustakaan atau membekukan air dengan semburan api. Kini di tahun terakhir sekolahnya, Aubrey yang sudah berusia tujuh belas tahun tidak sabar lagi untuk mengukir namanya dalam sejarah perkembangan ilmu sihir. Dia memasuki bidang sihir yang terlarang dengan membuka pintu kematian…, dan tidak bisa menutupnya kembali.

Berkat sahabatnya yang bernama George, Aubrey berhasil mengelak dari kematian, tapi benang yang menghubungkan jiwa dengan raganya sangat tipis dan ikatannya tidak lebih kencang daripada tali sepatu. Namun, kelemahan ini tidak membuat nyalinya surut ketika ada pembunuh misterius pada acara berburu yang diadakan oleh sepupunya, yaitu Putra Mahkota Albert. Ternyata pembunuh itu hanyalah golem yang dikendalikan oleh penyihir kuat yang cukup lihai untuk tidak meninggalkan bekasnya. Tidak lama setelah kejadian itu, seorang profesor dari lembaga penelitian rahasia juga tewas. Ayah Aubrey yang sedang berkampanye untuk menjadi perdana menteri lagi pun diculik.


Siapakah dalang di balik semua kejahatan ini? Mata-mata dari negara tetangga, Holmland, yang dicurigai hendak mencaplok Albion? Pengkhianat di dalam Kerajaan Albion sendiri? Atau para pemberontak yang bergabung dalam Pasukan Albion Baru?

Bersama anak gadis profesor tadi, Caroline yang tangguh, Aubrey menyelidiki rangkaian misteri yang mengancam nyawa ayahnya sekaligus kedamaian negerinya. George pun ikut serta demi memastikan keselamatan Aubrey, sekaligus menyadarkan sahabatnya itu tentang perasaannya kepada Caroline.

Penyihir Detektif
Bayangkanlah jika Trio Detektif bisa menggunakan sihir dalam penyelidikan-penyelidikan mereka. Kira-kira seperti itulah yang dilakukan oleh Aubrey. Dia menggunakan logika dan keahlian sihirnya yang istimewa untuk menganalisis petunjuk dan fakta yang ada. Sihir yang digunakan oleh Aubrey pun mempunyai penjelasan-penjelasan ilmiah (karena dalam novel ini, sihir sudah diperlakukan sebagai sains) dan hukum-hukumnya bisa diterapkan dalam berbagai kondisi.

Jangan khawatir, Michael Pryor masih menyediakan banyak hal menarik lainnya dalam buku pertama trilogi The Laws of Magic ini. Kita akan dibawa ke “Inggris” pada awal abad kedua puluh. Pryor menggambarkan perkembangan sosial dan teknologinya dengan baik. Melalui tokoh Aubrey, kita bisa mengintip pandangan orang-orang masa itu terhadap nasib buruh, emansipasi wanita, penemuan kereta api, dan percetakan. Semua itu disentuh sesuai laju alur cerita, dan kecerdasan Aubrey dalam menangkap intinya memastikan kita tidak perlu berpikir terlalu rumit.

Kenapa “Inggris”? Albion adalah nama pertama yang diberikan kepada daratan Inggris. Dalam novel ini pun disebutkan bahwa Albion adalah sebuah kerajaan kepulauan dengan negara-negara tetangga di Benua yang terletak di seberang lautan. Jadi, kira-kira negara manakah yang dimaksud dengan “Holmland”? Biarlah masing-masing pembaca yang menafsirkannya sendiri.

Meskipun beraroma hal-hal serius seperti kematian dan penyelidikan, novel ini bisa membuat kita tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah Aubrey. Tokoh utama ini sangat unik. Di satu sisi, dia berusaha kelihatan sempurna layaknya gentleman sejati, tapi di sisi lain dia hanyalah remaja laki-laki biasa dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan cenderung nakal. Apalagi ketika berhadapan dengan Caroline, Aubrey malah tidak bisa mengendalikan kata-katanya, bahkan gagal dalam sebagian besar usahanya untuk membuat gadis itu terkesan. Akhir cerita Blaze of Glory pun membuat kita puas sekaligus penasaran tentang kelanjutannya.

The Demon's Lexicon: Dusta Seorang Kakak

Pengarang: Sarah Ress Brennan
Kategori: Novel
ISBN: 978-602-8801-09-6
Ukuran: 14 x 20.5 cm
Halaman: 360 halaman
Terbit: Mei 2010 oleh Ufuk Press
Harga: Rp54.900,00


Apa kesamaan Harry Potter dan Clary (City of Bones)? Sepanjang hidup, mereka disembunyikan dari jati diri mereka yang sebenarnya. Harry tidak pernah diberi tahu oleh paman dan bibinya bahwa orangtuanya adalah penyihir. Bahkan ibu Clary sendiri yang meminta seorang warlock untuk membuat Clary tidak bisa melihat Dunia Bayangan, supaya putrinya itu tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya ras pemburu iblis. Bagaimana dengan tokoh utama di novel ini?

Nick Ryves tahu bahwa penyihir adalah manusia berkekuatan gaib yang membuat kesepakatan dengan iblis, menumbalkan manusia lainnya demi mendapatkan kekuatan atau kekuasaan. Dia tahu para penyihir jahat mengejar-ngejar keluarganya demi mendapatkan jimat sakti yang dikenakan oleh ibunya. Dia tahu ayahnya tewas dan kakaknya, Alan, menjadi pincang demi melindungi mereka. Ya, Nick tahu segalanya, atau setidaknya begitulah yang dia kira.

Novel ini beralur cepat dan tidak bertele-tele. Ketegangan langsung disajikan sejak halaman-halaman awal dan pengarang tidak akan menyiksa pembaca dengan detail-detail yang memusingkan. Bagaimanapun juga, ketika hal-hal kecil tentang lingkungan supranatural disuguhkan, pembaca akan menyelaminya dengan nikmat. Tempat yang paling menarik adalah Pasar Goblin dengan perdagangan barang-barang sihir, musik yang unik, dan tarian pemanggil iblis. Latar belakang tempat lainnya tidak terlalu istimewa, sehingga mungkin akan mengecewakan pembaca yang mengharapkan dunia baru semegah Narnia.

Setelah membaca novel ini, saya paling terkesan oleh tokoh Alan. Kisah di dalam novel ini memang berpusat pada Nick sebagai tokoh utamanya, tapi Alanlah yang mengetahui segalanya dan memutuskan untuk merahasiakan banyak hal dari Nick. Bahkan ketika Nick merasa berhasil menyelidiki masa lalu kakaknya dan membongkar rahasia serta rencana Alan, ternyata dia baru menyingkap permukaannya. Apa yang tersembunyi di baliknya adalah kenyataan yang tidak pernah terlintas di benak Nick.

Mengapa Alan berdusta? Nick tentunya kecewa, bahkan sempat berusaha menyakiti Alan sebagai pelampiasannya. Namun Alan selalu sabar, dan Nick tidak sanggup berpisah dari sosok yang merawatnya sejak kecil itu. Apa pun yang Alan lakukan adalah demi Nick, meskipun Nick sering berprasangka kakaknya lebih mementingkan orang lain.

Pergulatan emosional ini jugalah yang menjadi keandalan The Demon’s Lexicon. Pembaca diajak mendampingi Nick saat berusaha memahami perasaannya sendiri yang rumit, juga saat berusaha membaca raut wajah dan maksud tindakan-tindakan kakaknya. Semua itu akan mengantar pembaca ke akhir cerita yang memuaskan ketika Nick memahami alasan kakaknya berdusta sekaligus betapa kuat pemuda pincang itu sesungguhnya.