Aku Juga Ada di Sini

29 Januari, 2011

Menghijaukan Pemikiran Bangsa Lewat Fiksi Anak

Bahkan jika detik ini aku menutup mata, aku bisa melihatnya dengan mata batinku. Anak laki-laki berkulit gelap dan berambut keriting itu aku temui saat rok lipit merah rajin menemaniku. Tubuhnya kurus tapi berotot kencang, dan aku bayangkan matanya selalu bersinar.

Anak itu begitu mencintai hutannya, yang dia lewati berkilo-kilometer setiap hari untuk mencapai sekolahnya. Cinta itu bisa diraba dari cara dia menapaki rimba dan melompati dahan pepohonan dengan ringan. Memang dia tak beralas kaki dan berpakaian minim, namun gerakannya selalu lebih gesit daripada dua orang kota yang dengan canggung dan susah payah mengikutinya dari belakang. Pikiran anak itu bersih, tidak mengenal jahat dan curang, sampai kedua orang kota itu mengkhianati desanya, mengkhianati hutannya, berusaha merusak segala yang ada.


Dua belas tahun lalu, saya membuka lemari di ruang guru dan menemukan harta karun. Banyak buku cerita anak-anak teronggok di dalamnya. Buku-buku itu tipis, sangat sederhana, dan agak berdebu. Kenapa guru-guru saya tidak pernah menawari kami, murid-murid mereka, untuk membaca buku-buku itu tidak pernah saya tanyakan. Saya rasa saya melupakan hal itu karena terlalu nikmat membaca dua di antaranya.


Buku pertama adalah novel pendek yang isinya berhasil sedikit saya tuang kembali di atas. Sebagai seorang anak ketika itu, saya merasakan cinta seorang anak yang dibesarkan di tengah alam liar. Buku kedua memperkenalkan saya kepada dua anak kota yang entah bagaimana berpindah ke masa depan. Orang yang menampung mereka merasa canggung ketika mereka mengajaknya berjabat tangan. Ternyata itu karena dia jarang melakukannya akibat populasi manusia yang begitu tipis pada masa depan.

Sayangnya, saat itu saya terlalu muda untuk memperhatikan siapa pengarang kedua buku tersbut. Aku bahkan tidak ingat judul-judulnya. Kemungkinan besar semua buku itu pun sudah dibuang oleh guru-guru saya, digantikan oleh buku-buku pelajaran baru yang semua halamannya berwarna dan harganya selangit itu. Bagaimanapun juga, kedua buku itulah yang kali pertama menyentuhkan saya kepada pentingnya melindungi alam dan bahwa alam itu rapuh jika manusia sudah menjulurkan tangannya.

Buku lain yang saya ingat dengan lebih jelas adalah komik Doraemon Petualangan 12: Nobita dan Kerajaan Awan. Nobita dan kawan-kawan menemukan umat manusia langit yang tinggal di awan di atas Bumi. Manusia langit marah kepada manusia Bumi yang merusak alam dan mengotori langit. Untuk membersihkan Bumi, mereka berencana mengangkat manusia beserta sebagian flora dan fauna ke awan, lalu mengirimkan banjir Nuh ke seluruh permukaan Bumi. Dengan demikian, Bumi hijau kembali dan peradaban manusia harus dimulai dari nol lagi.

Sementara kedua novel pendek yang saya sebutkan tadi tidak merincikan perusakan alam itu seperti apa, komik Doraemon ini menyebut banyak kerusakan yang dilakukan oleh manusia. Manusia dituduh telah memboroskan sumber daya alam, memanfaatkan binatang dan tumbuhan seenak hati, mengepulkan polusi, merusak ozon, mengotori perairan, merusak tempat tinggal makhluk hidup, dan membahayakan Bumi dengan perang nuklir. Semua itu sulit saya pahami ketika kali pertama membacanya. Namun, komik itu berhasil membuat saya sedikit demi sedikit menjadi awas akan isu lingkungan selama beberapa tahun berikutnya. Jika saya tidak, sesedikitnya, menahan diri untuk tidak membuang sampah sembarangan dan menambah polusi, mungkinkah ancaman manusia langit terwujud? Akankah kita mengakibatkan kehancuran planet tempat tinggal kita sendiri?


Lewat Sekolah

Apa yang saya tuturkan sejauh ini adalah bagaimana fiksi anak telah menanamkan bibit kepedulian terhadap lingkungan dalam diri saya. Buku anak-anak bersifat sangat personal, diambil alih oleh pembaca mereka dan dipelihara sebagai bagian dari masa kanak-kanak internal (Hunt, 1995: xiv). Hunt (1995: ix) pun sampai berkata bahwa buku anak-anak dimiliki sampai koyak.

Berdasarkan teori yang dikembangkan di Universitas Harvard oleh Kohlberg dan rekan-rekannya (dalam Lenz, 1980: 101), perkembangan moral berlangsung sampai usia 25 tahun. Maka, saya pikir, bagus sekali jika fiksi anak yang mengandung isu lingkungan diperkenalkan kepada anak-anak lewat sekolah. Anak-anak bisa membaca fiksi semacam itu dan membahasnya bersama teman-teman dengan arahan guru.

Saya sangat menghargai adanya mata pelajaran PLBJ (Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta) untuk tingkat SD, tapi itu hanya di Jakarta. Bagaimana dengan jutaan anak Indonesia lainnya yang tidak mendapatkan pelajaran tersebut? Di samping itu, PLBJ adalah pelajaran—sesuatu yang mungkin sebagian anak baca dan hafalkan demi sebuah angka di rapor mereka belaka. Fiksi, sebaliknya, bisa merasuk ke alam pikiran anak. Fiksi kerap kali dianggap tidak nyata, tapi kalau kita memandangnya dari segi lain, fiksi merupakan kenyataan alternatif. Dengan menikmati buaian fiksi, anak-anak tidak hanya memahami, tapi juga bisa mencicipi, apa yang akan terjadi kalau manusia tidak peduli terhadap penghijauan Bumi.

Riris K. Toha-Sarumpaet (2002: viii), seorang ahli sastra anak, percaya bahwa karya sastra, selain dapat memperhalus budi dan mendewasakan manusia, juga mampu menggugah rasa dan pemikiran. Senada dengan pendapat tadi, Suminto A. Sayuti (dalam Toha-Sarumpaet, 2002: x) menjelaskan urgensi sastra sebagai sumber nilai moral yang juga dapat mempertajam kesadaran sosial dan religius pembaca. Nah, sastra tentunya juga akan mampu mempertajam kesadaran lingkungan pada anak-anak, kan?


Sesuai dengan Tingkat Perkembangan

Sesuai dengan tingkat pertama teori yang dikembangkan oleh Kohler, yaitu prekonvensional, anak-anak 10-12 tahun (akhir Sekolah Dasar) mempunyai orientasi terhadap hukuman dan kepatuhan (Lenz, 1980: 101). Komik Doraemon Petualangan 12 menceritakan hukuman apa yang akan dituai oleh manusia apabila mereka terus-menerus merusak alam. Anak-anak di bawah kategori usia ini belum bisa membedakan baik dan buruk. Jadi, menurut saya, menanamkan betapa indah dan nikmatnya mempunyai alam yang lestari sudah cukup.

Tingkat berikutnya, yaitu konvensional, adalah pengarahan "anak baik" (Lenz, 1980: 102). Pada tingkat ini, anak-anak bisa dibekali dengan bacaan yang lebih mendorong mereka untuk bertindak. Tindakan penyelamatan lingkungan ini yang menentukan bahwa anak-anak dalam fiksi itu adalah "anak baik". Operation Redwood karya S. Terrell French merupakan contoh novel asing yang menjunjung isu lingkungan. Novel ini mengisahkan usaha sekelompok anak untuk menyelamatkan pohon redwood yang hendak ditebang oleh sebuah perusahaan.

Sementara "anak-anak baik" dalam Operation Redwood bertindak menentang sekelompok orang, Toby dalam novel Toby Alone harus menghadapi semua anggota masyarakatnya demi melindungi keberlangsungan hidup Pohon tempat tinggal mereka. Novel yang ditulis oleh Timothée de Fombelle ini menyajikan isu lingkungan dalam sebuah alegori berupa dunia liliput setinggi satu sampai dua milimeter, sehingga sebatang Pohon itulah dunia mereka.


Sedini Mungkin

Saya percaya bahwa menghijaukan pemikiran bangsa harus dimulai sedini mungkin, bahwa kesadaran lingkungan sebaiknya ditanamkan sejak kanak-kanak. Saya juga yakin bahwa fiksi anak dapat membantu terwujudnya hal ini. Meskipun demikian, fiksi yang ditulis atau dipilih demi tujuan ini perlu digarap dengan hati-hati. Ada kekhawatiran bahwa karya fiksi semacam ini semata “mencuci otak” anak-anak dengan untaian kata yang tidak terbukti kebenarannya seperti yang dituduhkan oleh Wilkinson kepada Santa Goes Green karya Anne Margaret Lewis.

Memang sulit untuk melepaskan diri dari kecenderungan menggurui, bahkan Hunt (1995: xii) beranggapan buku anak-anak tidak pernah bisa bebas dari paham pendiktean atau muatan ideologis orang dewasa. Namun, kebenaran logika cerita harus diperhatikan. Kenikmatan anak-anak saat membaca karya-karya tersebut pun harus dijamin supaya mereka terdorong untuk mencari tahu lebih banyak tentang penghijauan. Dalam tahap mencari tahu lebih banyak inilah guru dan media bisa berperan. Pada akhirnya, anak-anak yang sudah dihijaukan pemikirannya ini diharapkan mampu memberikan tanggapan yang lebih aktif dan kritis terhadap kampanye lingkungan di sekitar mereka, atau bahkan memimpin usaha untuk menghijaukan Bumi ini.


Daftar Pustaka

Hunt, Peter (penyunting). Children's Literature: An Illustrated History. Oxford: Oxford University Press, 1995.

Lenz, Millicent dan Ramona M. Mahood (penyusun). Young Adult Literature: Background and Criticism. Chicago: American Library Association, 1980.

Toha-Sarumpaet, Riris K. (penyunting). Sastra Masuk Sekolah. Magelang: Indonesiatera, 2002.


3 komentar:

  1. KAlau bicara masalah buku dan pengajaran tentang linkungan, sudah ada sejak zaman bahela. Waktu saya SD (tak ingat tahun berapa) perpustakaan sekolah penuh berisi buku2 terbitan balai pustaka yang berlatar belakang lingkungan hidup dan pelestariannya yang d ulas begitu rupa dalam bentuk cerita yang sifatnya mendidik. Masalahnya...lebih dari 50 % buku2 itu tidak pernah tersentuh tangan murid. Dan tetap utuh hingga si siswa lulus SD.
    Fiksi anak yang membaca kan harusnya kan anak2...menjadi anak2 tidak sah kalau tidak sekolah kan. so? :)
    Btw, senangnya berkunjung ke mari...
    salam

    BalasHapus
  2. Salam kenal juga :D
    mungkin buku2 yang saya temukan di lemari guru itu salah satu buku terbitan Balai Pustaka yang Dea maksud
    terima kasih atas kunjungannya

    BalasHapus
  3. Tulisan ini bagus banget. Saya waktu kecil jarang baca buku. Mungkin masuk golongan yang Dea katakan...

    Tapi saya memang pernah dengar begitu: apa yang diceritakan kepada anak2 akan terjadi di masyarakat ketika anak2 itu dewasa.

    BalasHapus

Tinggalkan Komentar di Sini :)