Aku Juga Ada di Sini

21 Desember, 2011

Vandaria Saga: Padamnya Bintang-Bintang Vaeran

cerpen ini diikutsertakan dalam Kontes Cerita Pendek Vandaria 2011



Gesekan viola itu menyengat dengan denging yang mengiris hati. Tangan kurus sang gadis menggenggam busurnya erat-erat, menggilas dawai dengan jeda-jeda yang semakin menanjak. Jari-jari tangannya yang satu lagi menari-nari dengan lincah di atas kunci demi kunci sampai nyaris tergelincir.

Lantunan yang kini terdengar di sepenjuru aula tidak menghangatkan hati para pendengarnya seperti biasa. Nada demi nada dihantarkan dengan emosi yang membuncah sengit. Walaupun dirinya semata manusia, gadis di atas panggung itu bagai memancarkan aura yang menggelisahkan.

Gadis pemain viola itu bernama Melviola. Setidaknya itulah nama panggungnya. Tidak ada yang tahu pasti nama aslinya. Semua orang di Negeri Edenion mengenalnya sebagai manusia perempuan muda yang tak disangka-sangka punya kemampuan luar biasa untuk memikat mereka dengan kepiawaian musiknya. Satu-satunya manusia yang pantas membuat mereka ramai-ramai berkumpul dan mendengarkan permainannya.
Melviola sekilas melirik para penontonnya. Wajah-wajah itu memancarkan rasa kalut dan bingung.

Frameless, caci sang pemusik dalam hati, percuma berharap mereka memahami perasaan serumit ini.

Tahun demi tahun Melviola habiskan untuk memuaskan hasrat para frameless di Edenion akan semangat dan suka cita. Selama itu pula ia terkungkung tanpa bisa mengungkapkan isi hatinya. Perasaannya sebagai manusia, sebagai perempuan, tak dapat dibaginya dengan siapa-siapa. Tapi ia selalu menguatkan hatinya karena yakin semuanya takkan sia-sia.

Kini harapannya pupus sudah.

Satu orang, satu ucapan, cukup untuk menghancurkannya.


Melviola mengakhiri lagunya dengan rangkaian nada yang umumnya dianggap sumbang, keindahan yang takkan mereka pahami. Frameless boleh saja dilimpahi sihir, tapi mereka sangat terbatas dalam cita rasa seni dan emosi. Tak sanggup mereka menyerap emosi negatif, bahkan sekadar kata “tidak” bisa membuat mereka letih.

Sementara para frameless lain berbisik-bisik dengan waswas, Melviola beradu mata dengan Vaeran. Di kursi paling depan sang penyihir tampak megah dalam jubah kebesarannya. Rambutnya yang berwarna platinum membingkai tekstur wajahnya yang menawan meski sedang berkerut karena berang. Matanya, hijau zamrud di kiri dan biru pirus di kanan, melekat kepada sang gadis.

Tanpa terucapnya kata pun Melviola tahu arti tatapan itu.

Kau bukan bintangku lagi.
*


Lima tahun kemudian...
“Kau yakin jalan ke Kerajaan Ardelkay lewat sini?” Charnd menendang kerikil yang berani menghadang jalannya. Sudah dua hari mereka menapaki Perbukitan Tenang yang memang indah, tapi suasanya sedikit membuat Charnd merinding juga. Mungkin karena Charnd manusia biasa, sementara tempat ini diselimuti hawa magis yang tak dipahaminya. Yah, itu tidak jadi soal, karena orang yang bepergian dengannya menguasai sihir alam. “Kenapa kau pikir ia ada di sana? Karena di negeri itu ada banyak manusia?”

Orang yang ditanya, Vaeran Iervaanah alias penyihir alam yang dimaksud tadi, terus saja memimpin jalan dan tampak tidak menghiraukan perkataannya. Sosoknya yang tegap dan berambut panjang menjadi sumber senandung yang sudah berkali-kali Charnd dengar.

Itu lagu yang digubah dan dibawakan oleh Melviola, gadis pemain viola di Edenion. Kaum frameless sangat menyukai lagu ini dan meminta Melviola membawakannya setiap kali tampil di panggung; lagu yang menggugah semangat dan mengobarkan gairah hidup. Charnd juga terpukau akan lagu ini saat dibawa oleh Vaeran untuk menyaksikan pertunjukan Melviola untuk kali pertama.

Akan tetapi, pada kesempatan khusus yang Vaeran berikan kepada mereka untuk bertemu beberapa tahun lalu, Melviola memainkan lagu-lagu yang berbeda untuknya. Charnd merasa lagu-lagu lain ini jauh lebih menyentuh kalbunya, lebih mengundangnya untuk menjelajahi perasaannya sebagai manusia. Ketika Charnd bertanya kenapa Melviola tidak membawakan lagu-lagu ini di hadapan penonton tadi, barulah Charnd paham betapa sederhananya selera kaum frameless.

“Aku senang setidaknya ada kamu yang mengerti aku,” senyum Melviola mengembang saat menuturkan kata-kata itu. Senyum itu berisi kelegaan dan rasa terima kasih. Bibirnya yang penuh membentuk sudut-sudut yang menggelitik hati kecil Charnd. Karena Melviola selalu tampak serius saat di panggung, senyum itu sangat berkesan bagi Charnd. Senyum itu pulalah yang selalu Charnd bayangkan saat surat-menyurat dengan Melviola sekembalinya ke rumah, segalau apa pun kata-kata yang mereka pertukarkan.

Teringat Melviola, Charnd merasa dadanya tertusuk sesuatu yang tak kasat mata. Atwirya, pria yang menjadi pengganti orangtua Charnd, sudah berkali-kali mengingatkannya bahwa dia tidak bersalah atas keputusan Melviola untuk berpamit. Tapi tetap saja ada ganjalan di hati Charnd.

“Buatkanlah satu syair untukku,” kata Vaeran sekonyong-konyong. Dia merentangkan tangannya seperti sedang menyajikan segenap alam sekitar untuk digubah menjadi puisi.

Charnd menghirup napas dan melenturkan panca indranya. Setelah hatinya berusaha menyerap semua yang berada dalam jangkauan, mulailah dia bertutur, dari kuat hingga sendu:

Kucoba dengarkan alir 
 apa daya hanya ada gerisik
benarkah tenang yang menjadi namamu
kiranya menudung rindu

dan coba
coba singkap awan
mana terik yang menisik
bilakah kita sanggup menanggung pelik
sementara buncahku dan buncahmu
menenggelamkan kalbu.”

Ketika mata Charnd kembali fokus kepada Vaeran, sang penyair melihat dahi penyihir itu berkerut. Bagaimanapun, penampilannya tetap mengesankan. Rambutnya biru tipis hampir putih, kini panjangnya terurai lembut oleh angin semilir. Ciri yang paling mengesankan bagi Charnd tentu saja mata Vaeran, sebagaimana semua frameless, berbeda warna antara kiri dan kanan. Mata kiri Vaeran hijau, sedangkan kanan merah. Ketiga warna ini—biru, merah, dan hijau—menjadi kombinasi warna yang tak pernah luput melengkapi atribut Vaeran. Entah berapa usia Vaeran, tapi selama Charnd mengenalnya, tidak ada tanda-tanda penuaan pada sosok sang penyihir.

Satu tangan Vaeran mengusap dagu, satu lagi mencengkeram batu pada tongkat sihirnya. “Kau tahu, Charnd, aku penyihir yang sudah banyak pengalamannya. Aku sudah menjelajah ke berbagai tempat. Lyoont, Titardina, Alteria, Elir, ditambah Tanah Utama ini sudah lima dari tujuh benua aku pijaki. Berbagai macam orang sudah membagi pengalamannya denganku. Kau bahkan sudah aku ajak ke beberapa tempat di antaranya.”

“Sekali lagi aku berterima kasih untuk itu,” Charnd membungkukkan tubuhnya sedikit sesuai adat Edenion.
“Ya, ya,” kata Vaeran dengan sebelah tangan menepis udara. “Jadi, kegundahan semacam itu aku pahami betul. Tapi untuk apalah kita larut di dalamnya, penyairku yang baik? Kita hidup untuk hidup! Dengan getaran jiwa yang membara dan siap menghadapi segala aral.”

Dalam hati Charnd menggeleng-geleng. Vaeran pandai merangkai kata-kata puitis, jadi kadang-kadang tidak salah jika Charnd heran kenapa Vaeran sendiri tidak pernah menulis syair untuk memuaskan keinginannya itu.

Charnd mencoba mendebat, “Mungkin satu hal ini saja yang belum kau pahami, Vaeran, bahwa sesungguhnya ada kenikmatan saat menenggelamkan diri dalam kegundahan.”

Vaeran memandangi Charnd lama, seperti sedang mencari sesuatu. Tepat ketika Charnd membuka mulut untuk mengutarakan sesuatu, Vaeran berbalik dan kembali melangkah.


Charndpenyair yang baik,
Mungkin surat ini yang terakhir aku tulis untukmu, mungkin juga tidak. Tapi kalaupun aku berkirim lagi kepadamu, pastilah jauh dari tempatku sekarang ini.
Apa pun yang tersimpan di dalam hati masing-masing dari kita, terima kasih kau sudah bersedia menjadi temanku. Beberapa tahun ini aku senang bisa berbagi kepada seseorang yang mengerti aku; sejatinya diriku yang bukan pemusik di atas panggung.
Sungguh aku pun sedih karena kau tak bisa berikan hatimu kepadaku. Hati yang patah ini, ketahuilah, takkan sembuh jika aku tetap berdiam di Edenion. Terlalu banyak kenangan kita dan aku tak sanggup lagi.
Aku tidak akan memberitahumu ke mana, di mana aku. Aku berikan permohonan maafku untuk ini. Aku terpaksa melakukannya agar jika ada yang bertanya kepadamu, kau tidak perlu mengucap dusta sedikit pun.
Melviola


Charnd memejamkan mata dan membaca isi surat yang sudah dihapalnya itu dalam hati. Bulan dan bintang meneranginya yang berbaring di atas rerumputan empuk. Inilah keistimewaan bepergian dengan Vaeran. Sebagai penyihir alam, mudah bagi Vaeran untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan mereka dalam perjalanan. Terlebih lagi, walaupun tidak mahir dalam sihir tempur, Vaeran selalu membawa pedangnya dan cukup piawai menggunakannya.

Sampai detik ini, masih benar bahwa surat ini menjadi yang terakhir dari Melviola. Sejak lima tahun yang lalu, entah sudah berapa kali Charnd membacanya sebagai pengantar tidur. Setelah menghabiskan hari demi hari bertukar kata dengan si gadis pemusik, sulit bagi Charnd mengisi malam-malamnya yang sepi.
Mendadak rumput pembaringannya terasa tajam menusuk punggung. Awan menutup bulan, meredupkan penglihatan.

“Vaeran?” Charnd celingukan. Entah di mana penyihir nyentrik itu. Mungkin dia hendak bermain-main lagi? Bukan kali pertama ini Vaeran mengenakan kalung pusakanya yang bisa membuat dia tak kasat mata.

“Vaeran! Ayolah, aku letih sekali malam ini,” gerutu Charnd. Bayang-bayang dedaunan beserta rantingnya terulur seperti hendak meraup Charnd. Si penyair meringis. Sebaiknya apa yang dia lakukan? Menunggu saja hingga Vaeran bosan? Pergi ke mana pun sama saja dengan mengambil risiko tersesat, padahal mereka sudah tiba di tepi Hutan Rimba. Vaeran sudah memperingatkannya bahwa Hutan Rimba terlalu magis bagi dirinya yang manusia biasa; artinya Charnd hampir pasti celaka atau setidaknya tersesat selama berhari-hari di dalamnya.

Angin berembus kencang, menerbangkan rambut Charnd yang hanya sejengkal panjangnya. Charnd bergidik dan memeluk dirinya sendiri. Angin ini rasanya tidak wajar: menggigit dan merasuk dadanya.

Tiba-tiba terdengar suara yang membentuk kata, kedengarannya berdentum dan berasal dari berbagai penjuru sekaligus. “Kau bukan penyair baik yang aku kenal dulu,” tegur suara itu. Vaeran, sudah pasti.

Charnd manyun, jengkel. “Hidupku sedikit banyak tentu berubah. Setiap pengalaman mempengaruhi caraku memandang dunia. Lagipula, 'berubah' bukan kata yang tepat. Aku berkembang, Vaeran. Aku mendewasa.”
Panca indra Charnd menjadi siaga begitu mendengar pekik nyaring binatang. Meskipun tak berpengalaman bela diri dalam hal apa pun, naluri bertahan hidup membuat Charnd menjadi peka terhadap apa pun di sekitarnya saat ini. Telinganya menangkap retih dari bawah. Charnd menunduk, lalu menemukan akar-akar pohon tumbuh dari dalam tanah, siap menyergap kakinya.

Tergesa-gesa Charnd mundur. “Vaeran! Leluconmu kali ini tidak lucu!” seru Charnd dengan agak memelas, sebenarnya. Mata Charnd nanar saat bertemu dengan belasan pasang mata di balik dedaunan pohon tinggi. Makhluk-makhluk apakah itu gerangan?

Bintangku yang paling terang sinarnya padam gara-gara kau, dan kini kau sendiri tidak bercahaya lagi.”

Charnd merasakan kali ini suara Vaeran mendekat, tapi dia tak mendapatkan petunjuk lebih daripada itu tentang di mana keberadaannya. “Maksudmu Melviola?” Charnd memberanikan diri bertanya.

Kaulah penyebab kepergiannya.”

“Apa kiramu yang aku lakukan kepadanya? Dia pergi atas kehendaknya sendiri dan aku tidak tahu di mana dia! Aaargh!” Charnd menutupi kepalanya dengan kedua tangan dari seekor makhluk bersayap yang menukik menyambarnya. Charnd mengumpat-umpat dalam hati. Tidak heran Atwirya sulit melepaskan dirinya bepergian dengan Vaeran kali ini. Pastilah Atwirya waktu itu sudah mencium gelagat buruk Vaeran.

Percintaan manusia memang perasaan yang paling tak sanggup kalian atasi. Pemberian hati yang sepihak bisa menghancurkan manusia.”

Bahkan dalam keadaan ketakutan akan diserang oleh makhluk-makhluk bersayap yang siap menanti di dalam gelap, Charnd bisa tertawa, getir dan pahit. “Jadi kau kira itu aku? Bukan aku!”

Tak mungkin orang lain. Sejak bertemu dengan kau, musik yang dibawakannya berubah, tidak seindah dulu. Begitu pula syair-syairmu.

Mata-mata yang mengawasi Charnd berkedip bagaikan aba-aba. Charnd mundur dan berlari. Secepat mungkin larinya, tapi makhluk-makhluk itu mengejarnya dengan kecepatan yang tak dapat dilampaui penyair loyo seperti dirinya.

“Kami berkembang... karena kami manusia! Seharusnya... di antara semua frameless, kaulah yang paling mengerti itu, Vaeran!” Charnd susah-payah berkata dalam pelariannya. Derapnya kikuk dan riskan. Makhluk pertama menukik dan menggores pipinya. Makhluk kedua menabrak bahunya dengan tenaga yang mengejutkan. Charnd tersungkur ke depan. Teriakannya teredam ketika tubuhnya membentur air yang menerobos ke dalam mulutnya.

Syukurlah pinggir sungai tempat Charnd terjerembab tidak dalam. Charnd membungkuk melindungi tubuhnya sementara makhluk-makhluk bersayap menerjangnya.

Mereka lewat begitu saja.

Dengan telinga berdenging akibat pekik hewan-hewan liar itu, Charnd melepaskan tangan dari kepalanya. Dia mendongak dan mendapati Vaeran berdiri di hadapannya. Vaeran menjejak air, menjulang di atas Charnd. Kalung yang membuatnya tak kasat mata tadi digenggamnya kini.

Kedua bola mata Vaeran—merah dan hijau—berkilat dalam gelap. Sekejap Charnd dicekam ngeri yang berasal dari masa lalu, yaitu hari Kerajaan Galedia diserbu oleh Negeri Edenion. Pada hari itulah dirinya yang masih kecil kehilangan seluruh anggota keluarganya, dicerabut dari akar budayanya, dan dibawa ke negeri kekuasaan frameless ini.

Vaeran mengangkat tongkat sihirnya. Batu pada tongkat itu berkilat dengan warna merah-hijau-biru sekaligus bergejolak di dalamnya. Charnd menganga, setengah mati berusaha mundur dan menghindar, tapi Vaeran telah membuka mulutnya, “Ahhaerah Maszah, sang penguasa cahaya, tidak menerangimu lagi. Kau bukan bintangku lagi. Kau sama saja dengan sudah mati.”
*

Charndpenyair yang baik,

harapku kau masih berdiam di rumahmu yang dulu dalam keadaan sehat bersama Atwirya yang bijak (sampaikan salamku kepadanya). Kini aku berdiam jauh dari Edenion. Tetap tak dapat kusebutkan di mana aku berada, kau tahu alasannya.
Tapi aku rasa ada baiknya kau tahu bagaimana kabarku, agar aku berhenti bersinggah di dalam benakmu setiap malam seperti katamu dulu. Masihkah kau seperti itu? Harapku tidak. Harapku kau sudah menemukan orang lain yang bisa memberikan hatinya kepadamu, orang lain yang kau biarkan memberikan hatinya kepadamu.
Maafkan aku yang tak membiarkanmu memberikan hatimu kepadaku. Sungguh aku masih menyesalinya hingga kini. Tapi menerima pemberian hatimu hanya akan mengingatkanku kepada orang yang tidak membiarkanku memberikan hatiku kepadanya. Tentu saja begitu, karena dialah, Vaeran, yang membuat kita bertemu.
Itu sudah berlalu, syukurku, terlebih kini aku mendapatkan sumber kebahagiaanku di negeri antah ini. Sekarang aku hidup bersama seseorang. Dia bisa memberikan hatinya kepadaku. Aku pun bisa memberikan hatiku kepadanya.
Jikalau suatu hari kita berjumpa lagi, violaku akan memainkan satu lagu istimewa untukmu.

Melviola

Atwirya, sang vaanaadin pensiunan, memandangi surat tersebut dengan tidak percaya. Tiga ratus tahun yang dihabiskannya sebagai pejalan cakrawala rupanya belum cukup untuk memahami manusia. Tiga belas tahun terakhir menjadi “orangtua” bagi Charnd Darion pun tidak menambah pemahamannya cukup banyak.

Ada manusia jatuh cinta kepada frameless sebegitu dalam hingga meninggalkan semua yang dimilikinya. Padahal Atwirya mengira, di samping dominasi frameless terhadap manusia yang menimbulkan rasa takut atau benci, terlalu banyaknya perbedaan di antara kedua kaum ini tidak memungkinkan adanya celah bagi cinta untuk bersemi.

Cinta sepihak, memang, tapi tetap saja cinta.

Atwirya membaca surat itu dengan saksama lagi. Melviola melarikan diri lima tahun yang lalu. Saat itu Atwirya mendengar Vaeran segera mencarinya, tapi pulang dengan tangan kosong beberapa bulan yang lalu. Seminggu yang lalu Vaeran bertandang untuk menjemput Charnd. Menemaninya mengembara, kata Vaeran waktu itu. Atwirya sudah meminta Charnd menolak, tapi si penyair bersikeras. Dalam perjalanan mereka nanti, Charnd hendak menanyakan kabar Melviola. Charnd bahkan yakin sebenarnya Vaeran bermaksud melanjutkan pencariannya.

Melihat bahwa Melviola tetap ingin merahasiakan keberadaannya dari Vaeran, terbit kecurigaan dalam benak Atwirya.

“Terkutuklah Vaeran,” geram Atwirya sambil menghimpun kekuatannya; kekuatan yang telah lama tak dipanggil, apalagi digunakannya.

Dengan menggosokkan ibu jari ke telunjuk, Atwirya menghubungi Miitraela untuk meminta lokasi keberadaan Vaeran dan Charnd. Miitraela langsung menjawab lewat getar yang terasa di kaki Atwirya. Jawaban yang diberikan oleh sang vaanaadin penguasa daratan tentang Vaeran cukup jelas, di lingkar luar Perbukitan Tenang, tetapi Miitraela menolak memberitahukan keadaan Charnd.

“Terkutuklah aku jika Charnd sudah celaka,” umpat sang pejalan cakrawala. Atwirya kini menghubungi Faerdahvah sang penguasa langit untuk membawa dirinya dengan angin mengarungi bentangan langit Vandaria.
*

Segala flora dan fauna di Lembah Hijau di kaki Perbukitan Tenang menyambut kehadiran Vaeran Iervaanah dengan ketenteraman. Suasana sang penyihir alam sedang riang. Dia baru saja memakamkan seorang penyair baik. Tenaga sihirnya sudah terkuras, memang, demi membangun kompleks permakaman yang layak bagi mantan penyair kesukaannya itu. Namun, semuanya sepadan. Vaeran puas sekali.

Saat mendapati seseorang bertenaga sihir yang amat besar menghadang jalannya, Vaeran tidak langsung waswas. Semula Vaeran hanya tidak mengerti bagaimana bisa ada orang yang menjadi sumber kekuatan sebesar itu. Begitu sadar bahwa pancaran kekuatan itu diarahkan dengan mengancam kepada dirinya, barulah Vaeran memperhatikan sumbernya lekat-lekat.

Rupanya itu Atwirya, pria tua yang mendampingi Charnd sejak keluarga Darion dibabat oleh pasukan Negeri Edenion. Tak pernah jelas siapakah Atwirya sebenarnya dan kenapa dia begitu setia mendampingi Charnd. Vaeran menemukan mereka sudah berdua menyambung hidup mati-matian di pinggir Edenion hampir dua puluh tahun yang lalu. Benak Vaeran yang praktis pun bertanya-tanya, Apabila kekuatannya sebesar ini, tentu mereka dulu bisa hidup dengan lebih baik?

Bentangan alam tempat mereka bertemu kurang menguntungkan Vaeran. Apa pula yang bisa diandalkannya? Hanya ada rumput dan bebatuan sejauh mata memandang. Angin sedang tidak bertiup kencang. Hujan dan petir tidak mudah dikendalikan.

Bagaimanapun, Vaeran memantapkan pijakan dengan menguatkan tanah dan rumput di sekitarnya.

“Di mana Charnd?” Atwirya bertanya dengan tegas. Vaeran mengerjapkan mata dengan takjub. Sosok Atwirya pelan-pelan berubah menjadi jauh lebih muda dan prima daripada sebelumnya.

“Aku telah memakamkannya,” jawab Vaeran apa adanya, tersenyum seperti baru memenangkan tongkat seorang penyihir dari duel maut.

“Apa pembelaanmu?”

“Anakmu Charnd telah memadamkan sinar bintangku, Melviola. Dia sendiri pun tidak bersinar lagi. Sama saja dengan mati. Aku hanya membantunya.” Vaeran tahu posisinya kurang menguntungkan. Walaupun tidak suka, dia harus memanfaatkan unsur kejutan.

Vaeran mengetuk-ngetuk tongkat sihirnya. Gerakan ini sebenarnya untuk menyamarkan telunjuk yang digerakkannya sedikit demi menerbangkan batu dari belakang Atwirya. Tidak besar, tapi pastilah cukup untuk membuat lawannya pingsan apabila mengenai kepala.

Atwirya tidak mengelak. Tanpa berbalik badan, batu itu ditangkapnya dengan sebelah tangan semudah menangkap buah yang dioper dari orang ke orang dalam perkebunan. Atwirya tersenyum memandangi batu hasil tangkapannya, lingkar tengahnya hanya sedikit lebih lebar daripada telapak tangannya. “Kau berpengetahuan luas, Vaeran Iervanaah. Bisa kau sebutkan ada berapa vaanaadin dalam kepercayaan Vanaadinnahkah?”

“Tiga belas, tapi itu hanya berdasarkan kepercayaan saat ini,” Vaeran menekuk alisnya. Untuk apa Atwirya menanyakan hal ini? Mengalihkan perhatiannya?

“Itu tidak keliru. Tiga belas Vaanaadin yang sekarang ada... beberapa di antaranya tergolong muda. Mereka baru mendapatkan tempat setelah pendahulu mereka merasa bosan atau diminta mengundurkan diri sebagai penebus kesalahan.”

Mata Vaeran berbinar, senyumnya mengembang. “Pejalan cakrawala. Kaukah itu? Sebenarnya sudah sedari dulu aku bertanya-tanya dalam hatiku tentang kau.” Vaeran merasa senang dan tenang karena dalam kepercayaan Vanaadinnahkah manusia dianggap lemah atau terkutuk. Maka seorang Vaanaadin pastilah tidak akan mempermasalahkan perlakuannya terhadap Charnd.

“Daelanaa, anakku, menggantikan posisiku begitu aku merasa tugasku sebagai Vaanaadin membosankannya tak tertahankan lagi. Kau tahu apa yang bisa dilakukan Daelanaa?” Sambil berbicara, batu di tangan Atwirya membulat dan melicin.

Vaeran menatap batu itu dengan curiga. Diputuskannya untuk memperkuat pertahanan lagi, menebalkan dan menumbuhkan rerumputan di sekitarnya. Tapi kakinya malah terjerat oleh rumput yang ditumbuhkannya sendiri. Vaeran memaki-maki di luar hati, “Tentu saja, tentu saja, bodohnya aku, Daelanaa sang pemelihara kehidupan. Kau tentu bisa mengatur segala macam bentuk kehidupan.”

“Itu yang anakku bisa lakukan, penyihir yang tidak baik,” sindir Atwirya. Batu di tangannya kini bulat sempurna. Warnanya kuning mengilat dan permukaannya semulus kaca. Sementara Vaeran menarik-narik kakinya untuk membebaskan diri, Atwirya menimang-nimang bola itu. “Aku bisa menangkap kehidupan itu sendiri... dan memasukkannya ke dalam batu ini, misalnya.”

“Jika kau memang Vaanaadin, kenapa kau membela manusia?” tanya Vaeran dengan sengit. Hanya angin yang tampaknya berada di luar ranah kekuatan Atwirya, jadi Vaeran berusaha keras mengumpulkan setiap embusan yang bertiup di Lembah Hijau. Vaeran mengarahkannya kepada Atwirya sekencang mungkin, tapi tindakannya itu malah membuatnya terkulai berlutut kehabisan tenaga sihir. Tongkat sihirnya berkedip-kedip hanya untuk kali kedua seumur hidupnya yang tidak singkat.

Rerumputan tumbuh semakin tinggi, mengungkungnya di tengah lembah. Bola mata Atwirya berubah menjadi kabut. Sang pejalan cakrawala pun berkata, “Kau telah melangkahi posisimu sebagai frameless. Kau meniadakan seorang manusia dari haknya menjalani hidup di dunia bersama kaummu.”

Dengan sisa tenaga fisiknya yang sebenarnya terpengaruh melemah, Vaeran menghunuskan pedangnya. Dengan gerakan cepat yang terlatih, diayunkannya pedang itu untuk menebas dari samping. Atwirya menangkis bilah pedang lawan dengan batu yang dipegangnya. Batu itu kini lebih cocok disebut permata, sesungguhnya.

“Lagipula,” Atwirya meneruskan penjelasannya, “kau sendirilah penyebab padamnya bintang-bintangmu, Vaeran Iervanaah.”

“Mereka padam karena mereka manusia!” Vaeran meludah ke samping. “Manusia memang tidak bisa menjaga kekuatan hatinya selayaknya frameless.” Vaeran berusaha menebas lagi dengan sayatan yang tegas, tapi Atwirya memegangi bilah pedang Vaeran dengan tangannya yang bebas.

“Karena kau penyihir alam yang kuat, Vaeran, hukumanmu adalah menjadi jiwa bagi permata ini, jiwa yang akan membantu siapa pun yang menjadi Kekasih Alam.” Dengan daya yang kuatnya tak terduga tapi tidak mementalkan lawannya, Atwirya mendorong bola di tangannya ke dahi Vaeran. Sang penyihir membelalak dan menganga. Bola yang semula berwarna kuning langsung memancarkan merah-hijau-biru yang menyengat mata.

Demikianlah Vaeran lesap menjadi jiwa yang tersimpan dalam permata. Rupanya lima benda yang dibawa Vaeran saat itu tidak ikut terhisap: pedang, kalung, tongkat sihir, buku, dan ikat pinggang. Tanpa yakin apa guna kelima pusaka tersebut, Atwirya sang pejalan cakrawala membawanya serta.
***


Depok, 20 Desember 2011, 23.57 WIB

2 komentar:

  1. Hmm, nama panggungnya Melviola....
    jangan-jangan nama aslinya Melody.....
    hehehe....

    BalasHapus
  2. terima kasih, nina :D
    benar nama asli Melviola itu Melody, hehehe

    BalasHapus

Tinggalkan Komentar di Sini :)