Gesekan
viola itu menyengat dengan denging yang mengiris hati. Tangan kurus
sang gadis menggenggam busurnya erat-erat, menggilas dawai dengan
jeda-jeda yang semakin menanjak. Jari-jari tangannya yang satu lagi
menari-nari dengan lincah di atas kunci demi kunci sampai nyaris
tergelincir.
Lantunan
yang kini terdengar di sepenjuru aula tidak menghangatkan hati para
pendengarnya seperti biasa. Nada demi nada dihantarkan dengan emosi
yang membuncah sengit. Walaupun dirinya semata manusia, gadis di atas
panggung itu bagai memancarkan aura yang menggelisahkan.
Gadis
pemain viola itu bernama Melviola. Setidaknya itulah nama
panggungnya. Tidak ada yang tahu pasti nama aslinya. Semua orang di
Negeri Edenion mengenalnya sebagai manusia perempuan muda yang tak
disangka-sangka punya kemampuan luar biasa untuk memikat mereka
dengan kepiawaian musiknya. Satu-satunya manusia yang pantas membuat
mereka ramai-ramai berkumpul dan mendengarkan permainannya.
Melviola
sekilas melirik para penontonnya. Wajah-wajah itu memancarkan rasa
kalut dan bingung.
Frameless,
caci sang pemusik dalam hati,
percuma berharap mereka memahami perasaan serumit ini.
Tahun
demi tahun Melviola habiskan untuk memuaskan hasrat para frameless di
Edenion akan semangat dan suka cita. Selama itu pula ia terkungkung
tanpa bisa mengungkapkan isi hatinya. Perasaannya sebagai manusia,
sebagai perempuan, tak dapat dibaginya dengan siapa-siapa. Tapi ia
selalu menguatkan hatinya karena yakin semuanya takkan sia-sia.
Kini harapannya pupus sudah.
Satu orang, satu ucapan, cukup untuk menghancurkannya.