Gesekan
viola itu menyengat dengan denging yang mengiris hati. Tangan kurus
sang gadis menggenggam busurnya erat-erat, menggilas dawai dengan
jeda-jeda yang semakin menanjak. Jari-jari tangannya yang satu lagi
menari-nari dengan lincah di atas kunci demi kunci sampai nyaris
tergelincir.
Lantunan
yang kini terdengar di sepenjuru aula tidak menghangatkan hati para
pendengarnya seperti biasa. Nada demi nada dihantarkan dengan emosi
yang membuncah sengit. Walaupun dirinya semata manusia, gadis di atas
panggung itu bagai memancarkan aura yang menggelisahkan.
Gadis
pemain viola itu bernama Melviola. Setidaknya itulah nama
panggungnya. Tidak ada yang tahu pasti nama aslinya. Semua orang di
Negeri Edenion mengenalnya sebagai manusia perempuan muda yang tak
disangka-sangka punya kemampuan luar biasa untuk memikat mereka
dengan kepiawaian musiknya. Satu-satunya manusia yang pantas membuat
mereka ramai-ramai berkumpul dan mendengarkan permainannya.
Melviola
sekilas melirik para penontonnya. Wajah-wajah itu memancarkan rasa
kalut dan bingung.
Frameless,
caci sang pemusik dalam hati,
percuma berharap mereka memahami perasaan serumit ini.
Tahun
demi tahun Melviola habiskan untuk memuaskan hasrat para frameless di
Edenion akan semangat dan suka cita. Selama itu pula ia terkungkung
tanpa bisa mengungkapkan isi hatinya. Perasaannya sebagai manusia,
sebagai perempuan, tak dapat dibaginya dengan siapa-siapa. Tapi ia
selalu menguatkan hatinya karena yakin semuanya takkan sia-sia.
Kini harapannya pupus sudah.
Satu orang, satu ucapan, cukup untuk menghancurkannya.
Melviola mengakhiri lagunya dengan rangkaian nada yang umumnya
dianggap sumbang, keindahan yang takkan mereka pahami. Frameless
boleh saja dilimpahi sihir, tapi mereka sangat terbatas dalam cita
rasa seni dan emosi. Tak sanggup mereka menyerap emosi negatif,
bahkan sekadar kata “tidak” bisa membuat mereka letih.
Sementara
para frameless lain berbisik-bisik dengan waswas, Melviola beradu
mata dengan Vaeran. Di kursi paling depan sang penyihir tampak megah
dalam jubah kebesarannya. Rambutnya yang berwarna platinum membingkai
tekstur wajahnya yang menawan meski sedang berkerut karena berang.
Matanya, hijau zamrud di kiri dan biru pirus di kanan, melekat kepada
sang gadis.
Tanpa terucapnya kata pun Melviola tahu arti tatapan itu.
Kau
bukan bintangku lagi.
*
Lima tahun kemudian...
“Kau
yakin jalan ke Kerajaan Ardelkay lewat sini?” Charnd menendang
kerikil yang berani menghadang jalannya. Sudah dua hari mereka
menapaki Perbukitan Tenang yang memang indah, tapi suasanya sedikit
membuat Charnd merinding juga. Mungkin karena Charnd manusia biasa,
sementara tempat ini diselimuti hawa magis yang tak dipahaminya. Yah,
itu tidak jadi soal, karena orang yang bepergian dengannya menguasai
sihir alam. “Kenapa kau pikir ia ada di sana? Karena di negeri itu
ada banyak manusia?”
Orang yang ditanya, Vaeran Iervaanah alias penyihir alam yang
dimaksud tadi, terus saja memimpin jalan dan tampak tidak
menghiraukan perkataannya. Sosoknya yang tegap dan berambut panjang
menjadi sumber senandung yang sudah berkali-kali Charnd dengar.
Itu
lagu yang digubah dan dibawakan oleh Melviola, gadis pemain viola di
Edenion. Kaum frameless
sangat menyukai lagu ini dan meminta Melviola membawakannya setiap
kali tampil di panggung; lagu yang menggugah semangat dan mengobarkan
gairah hidup. Charnd juga terpukau akan lagu ini saat dibawa oleh
Vaeran untuk menyaksikan pertunjukan Melviola untuk kali pertama.
Akan tetapi, pada kesempatan khusus yang Vaeran berikan kepada
mereka untuk bertemu beberapa tahun lalu, Melviola memainkan
lagu-lagu yang berbeda untuknya. Charnd merasa lagu-lagu lain ini
jauh lebih menyentuh kalbunya, lebih mengundangnya untuk menjelajahi
perasaannya sebagai manusia. Ketika Charnd bertanya kenapa Melviola
tidak membawakan lagu-lagu ini di hadapan penonton tadi, barulah
Charnd paham betapa sederhananya selera kaum frameless.
“Aku senang setidaknya ada kamu yang mengerti aku,” senyum
Melviola mengembang saat menuturkan kata-kata itu. Senyum itu berisi
kelegaan dan rasa terima kasih. Bibirnya yang penuh membentuk
sudut-sudut yang menggelitik hati kecil Charnd. Karena Melviola
selalu tampak serius saat di panggung, senyum itu sangat berkesan
bagi Charnd. Senyum itu pulalah yang selalu Charnd bayangkan saat
surat-menyurat dengan Melviola sekembalinya ke rumah, segalau apa pun
kata-kata yang mereka pertukarkan.
Teringat Melviola, Charnd merasa dadanya tertusuk sesuatu yang tak
kasat mata. Atwirya, pria yang menjadi pengganti orangtua Charnd,
sudah berkali-kali mengingatkannya bahwa dia tidak bersalah atas
keputusan Melviola untuk berpamit. Tapi tetap saja ada ganjalan di
hati Charnd.
“Buatkanlah satu syair untukku,” kata Vaeran sekonyong-konyong.
Dia merentangkan tangannya seperti sedang menyajikan segenap alam
sekitar untuk digubah menjadi puisi.
Charnd menghirup napas dan melenturkan panca indranya. Setelah
hatinya berusaha menyerap semua yang berada dalam jangkauan, mulailah
dia bertutur, dari kuat hingga sendu:
“Kucoba dengarkan alir
apa daya hanya ada gerisik
benarkah tenang yang menjadi namamu
kiranya menudung rindu
dan coba
coba singkap awan
mana terik yang menisik
bilakah kita sanggup menanggung pelik
sementara buncahku dan buncahmu
menenggelamkan kalbu.”
Ketika mata Charnd kembali fokus kepada Vaeran, sang penyair melihat
dahi penyihir itu berkerut. Bagaimanapun, penampilannya tetap
mengesankan. Rambutnya biru tipis hampir putih, kini panjangnya
terurai lembut oleh angin semilir. Ciri yang paling mengesankan bagi
Charnd tentu saja mata Vaeran, sebagaimana semua frameless, berbeda
warna antara kiri dan kanan. Mata kiri Vaeran hijau, sedangkan kanan
merah. Ketiga warna ini—biru, merah, dan hijau—menjadi kombinasi
warna yang tak pernah luput melengkapi atribut Vaeran. Entah berapa
usia Vaeran, tapi selama Charnd mengenalnya, tidak ada tanda-tanda
penuaan pada sosok sang penyihir.
Satu tangan Vaeran mengusap dagu, satu lagi mencengkeram batu pada
tongkat sihirnya. “Kau tahu, Charnd, aku penyihir yang sudah banyak
pengalamannya. Aku sudah menjelajah ke berbagai tempat. Lyoont,
Titardina, Alteria, Elir, ditambah Tanah Utama ini sudah lima dari
tujuh benua aku pijaki. Berbagai macam orang sudah membagi
pengalamannya denganku. Kau bahkan sudah aku ajak ke beberapa tempat
di antaranya.”
“Sekali lagi aku berterima kasih untuk itu,” Charnd
membungkukkan tubuhnya sedikit sesuai adat Edenion.
“Ya, ya,” kata Vaeran dengan sebelah tangan menepis udara.
“Jadi, kegundahan semacam itu aku pahami betul. Tapi untuk apalah
kita larut di dalamnya, penyairku yang baik? Kita hidup untuk hidup!
Dengan getaran jiwa yang membara dan siap menghadapi segala aral.”
Dalam hati Charnd menggeleng-geleng. Vaeran pandai merangkai
kata-kata puitis, jadi kadang-kadang tidak salah jika Charnd heran
kenapa Vaeran sendiri tidak pernah menulis syair untuk memuaskan
keinginannya itu.
Charnd mencoba mendebat, “Mungkin satu hal ini saja yang belum kau
pahami, Vaeran, bahwa sesungguhnya ada kenikmatan saat menenggelamkan
diri dalam kegundahan.”
Vaeran memandangi Charnd lama, seperti sedang mencari sesuatu. Tepat
ketika Charnd membuka mulut untuk mengutarakan sesuatu, Vaeran
berbalik dan kembali melangkah.
Charndpenyair yang baik,
Mungkin surat ini yang terakhir aku tulis untukmu, mungkin juga tidak. Tapi kalaupun aku berkirim lagi kepadamu, pastilah jauh dari tempatku sekarang ini.
Apa pun yang tersimpan di dalam hati masing-masing dari kita, terima kasih kau sudah bersedia menjadi temanku. Beberapa tahun ini aku senang bisa berbagi kepada seseorang yang mengerti aku; sejatinya diriku yang bukan pemusik di atas panggung.
Sungguh aku pun sedih karena kau tak bisa berikan hatimu kepadaku. Hati yang patah ini, ketahuilah, takkan sembuh jika aku tetap berdiam di Edenion. Terlalu banyak kenangan kita dan aku tak sanggup lagi.
Aku tidak akan memberitahumu ke mana, di mana aku. Aku berikan permohonan maafku untuk ini. Aku terpaksa melakukannya agar jika ada yang bertanya kepadamu, kau tidak perlu mengucap dusta sedikit pun.
Melviola
Charnd
memejamkan mata dan membaca isi surat yang sudah dihapalnya itu dalam
hati. Bulan dan bintang meneranginya yang berbaring di atas
rerumputan empuk. Inilah keistimewaan bepergian dengan Vaeran.
Sebagai penyihir alam, mudah bagi Vaeran untuk menjamin keselamatan
dan kenyamanan mereka dalam perjalanan. Terlebih lagi, walaupun tidak
mahir dalam sihir tempur, Vaeran selalu membawa pedangnya dan cukup
piawai menggunakannya.
Sampai detik ini, masih benar bahwa surat ini menjadi yang terakhir
dari Melviola. Sejak lima tahun yang lalu, entah sudah berapa kali
Charnd membacanya sebagai pengantar tidur. Setelah menghabiskan hari
demi hari bertukar kata dengan si gadis pemusik, sulit bagi Charnd
mengisi malam-malamnya yang sepi.
Mendadak rumput pembaringannya terasa tajam menusuk punggung. Awan
menutup bulan, meredupkan penglihatan.
“Vaeran?” Charnd celingukan. Entah di mana penyihir nyentrik
itu. Mungkin dia hendak bermain-main lagi? Bukan kali pertama ini
Vaeran mengenakan kalung pusakanya yang bisa membuat dia tak kasat
mata.
“Vaeran! Ayolah, aku letih sekali malam ini,” gerutu Charnd.
Bayang-bayang dedaunan beserta rantingnya terulur seperti hendak
meraup Charnd. Si penyair meringis. Sebaiknya apa yang dia lakukan?
Menunggu saja hingga Vaeran bosan? Pergi ke mana pun sama saja dengan
mengambil risiko tersesat, padahal mereka sudah tiba di tepi Hutan
Rimba. Vaeran sudah memperingatkannya bahwa Hutan Rimba terlalu magis
bagi dirinya yang manusia biasa; artinya Charnd hampir pasti celaka
atau setidaknya tersesat selama berhari-hari di dalamnya.
Angin berembus kencang, menerbangkan rambut Charnd yang hanya
sejengkal panjangnya. Charnd bergidik dan memeluk dirinya sendiri.
Angin ini rasanya tidak wajar: menggigit dan merasuk dadanya.
Tiba-tiba
terdengar suara yang membentuk kata, kedengarannya berdentum dan
berasal dari berbagai penjuru sekaligus. “Kau
bukan penyair baik yang aku kenal dulu,”
tegur suara itu. Vaeran, sudah pasti.
Charnd manyun, jengkel. “Hidupku sedikit banyak tentu berubah.
Setiap pengalaman mempengaruhi caraku memandang dunia. Lagipula,
'berubah' bukan kata yang tepat. Aku berkembang, Vaeran. Aku
mendewasa.”
Panca indra Charnd menjadi siaga begitu mendengar pekik nyaring
binatang. Meskipun tak berpengalaman bela diri dalam hal apa pun,
naluri bertahan hidup membuat Charnd menjadi peka terhadap apa pun di
sekitarnya saat ini. Telinganya menangkap retih dari bawah. Charnd
menunduk, lalu menemukan akar-akar pohon tumbuh dari dalam tanah,
siap menyergap kakinya.
Tergesa-gesa Charnd mundur. “Vaeran! Leluconmu kali ini tidak
lucu!” seru Charnd dengan agak memelas, sebenarnya. Mata Charnd
nanar saat bertemu dengan belasan pasang mata di balik dedaunan pohon
tinggi. Makhluk-makhluk apakah itu gerangan?
“Bintangku
yang paling terang sinarnya padam gara-gara kau, dan kini kau sendiri
tidak bercahaya lagi.”
Charnd merasakan kali ini suara Vaeran mendekat, tapi dia tak
mendapatkan petunjuk lebih daripada itu tentang di mana
keberadaannya. “Maksudmu Melviola?” Charnd memberanikan diri
bertanya.
“Kaulah
penyebab kepergiannya.”
“Apa kiramu yang aku lakukan kepadanya? Dia pergi atas kehendaknya
sendiri dan aku tidak tahu di mana dia! Aaargh!” Charnd menutupi
kepalanya dengan kedua tangan dari seekor makhluk bersayap yang
menukik menyambarnya. Charnd mengumpat-umpat dalam hati. Tidak heran
Atwirya sulit melepaskan dirinya bepergian dengan Vaeran kali ini.
Pastilah Atwirya waktu itu sudah mencium gelagat buruk Vaeran.
“Percintaan
manusia memang perasaan yang paling tak sanggup kalian atasi.
Pemberian hati yang sepihak bisa menghancurkan manusia.”
Bahkan dalam keadaan ketakutan akan diserang oleh makhluk-makhluk
bersayap yang siap menanti di dalam gelap, Charnd bisa tertawa, getir
dan pahit. “Jadi kau kira itu aku? Bukan aku!”
“Tak
mungkin orang lain. Sejak bertemu dengan kau, musik yang dibawakannya
berubah, tidak seindah dulu. Begitu pula syair-syairmu.”
Mata-mata yang mengawasi Charnd berkedip bagaikan aba-aba. Charnd
mundur dan berlari. Secepat mungkin larinya, tapi makhluk-makhluk itu
mengejarnya dengan kecepatan yang tak dapat dilampaui penyair loyo
seperti dirinya.
“Kami berkembang... karena kami manusia! Seharusnya... di antara
semua frameless, kaulah yang paling mengerti itu, Vaeran!” Charnd
susah-payah berkata dalam pelariannya. Derapnya kikuk dan riskan.
Makhluk pertama menukik dan menggores pipinya. Makhluk kedua menabrak
bahunya dengan tenaga yang mengejutkan. Charnd tersungkur ke depan.
Teriakannya teredam ketika tubuhnya membentur air yang menerobos ke
dalam mulutnya.
Syukurlah pinggir sungai tempat Charnd terjerembab tidak dalam.
Charnd membungkuk melindungi tubuhnya sementara makhluk-makhluk
bersayap menerjangnya.
Mereka lewat begitu saja.
Dengan telinga berdenging akibat pekik hewan-hewan liar itu, Charnd
melepaskan tangan dari kepalanya. Dia mendongak dan mendapati Vaeran
berdiri di hadapannya. Vaeran menjejak air, menjulang di atas Charnd.
Kalung yang membuatnya tak kasat mata tadi digenggamnya kini.
Kedua bola mata Vaeran—merah dan hijau—berkilat dalam gelap.
Sekejap Charnd dicekam ngeri yang berasal dari masa lalu, yaitu hari
Kerajaan Galedia diserbu oleh Negeri Edenion. Pada hari itulah
dirinya yang masih kecil kehilangan seluruh anggota keluarganya,
dicerabut dari akar budayanya, dan dibawa ke negeri kekuasaan
frameless ini.
Vaeran mengangkat tongkat sihirnya. Batu pada tongkat itu berkilat
dengan warna merah-hijau-biru sekaligus bergejolak di dalamnya.
Charnd menganga, setengah mati berusaha mundur dan menghindar, tapi
Vaeran telah membuka mulutnya, “Ahhaerah Maszah, sang penguasa
cahaya, tidak menerangimu lagi. Kau bukan bintangku lagi. Kau sama
saja dengan sudah mati.”
*
Charndpenyair yang baik,
harapku kau masih berdiam di rumahmu yang dulu dalam keadaan sehat bersama Atwirya yang bijak (sampaikan salamku kepadanya). Kini aku berdiam jauh dari Edenion. Tetap tak dapat kusebutkan di mana aku berada, kau tahu alasannya.
Tapi aku rasa ada baiknya kau tahu bagaimana kabarku, agar aku berhenti bersinggah di dalam benakmu setiap malam seperti katamu dulu. Masihkah kau seperti itu? Harapku tidak. Harapku kau sudah menemukan orang lain yang bisa memberikan hatinya kepadamu, orang lain yang kau biarkan memberikan hatinya kepadamu.
Maafkan aku yang tak membiarkanmu memberikan hatimu kepadaku. Sungguh aku masih menyesalinya hingga kini. Tapi menerima pemberian hatimu hanya akan mengingatkanku kepada orang yang tidak membiarkanku memberikan hatiku kepadanya. Tentu saja begitu, karena dialah, Vaeran, yang membuat kita bertemu.
Itu sudah berlalu, syukurku, terlebih kini aku mendapatkan sumber kebahagiaanku di negeri antah ini. Sekarang aku hidup bersama seseorang. Dia bisa memberikan hatinya kepadaku. Aku pun bisa memberikan hatiku kepadanya.
Jikalau suatu hari kita berjumpa lagi, violaku akan memainkan satu lagu istimewa untukmu.
Melviola
Atwirya, sang vaanaadin pensiunan, memandangi surat tersebut dengan
tidak percaya. Tiga ratus tahun yang dihabiskannya sebagai pejalan
cakrawala rupanya belum cukup untuk memahami manusia. Tiga belas
tahun terakhir menjadi “orangtua” bagi Charnd Darion pun tidak
menambah pemahamannya cukup banyak.
Ada manusia jatuh cinta kepada frameless sebegitu dalam hingga
meninggalkan semua yang dimilikinya. Padahal Atwirya mengira, di
samping dominasi frameless terhadap manusia yang menimbulkan rasa
takut atau benci, terlalu banyaknya perbedaan di antara kedua kaum
ini tidak memungkinkan adanya celah bagi cinta untuk bersemi.
Cinta sepihak, memang, tapi tetap saja cinta.
Atwirya membaca surat itu dengan saksama lagi. Melviola melarikan
diri lima tahun yang lalu. Saat itu Atwirya mendengar Vaeran segera
mencarinya, tapi pulang dengan tangan kosong beberapa bulan yang
lalu. Seminggu yang lalu Vaeran bertandang untuk menjemput Charnd.
Menemaninya mengembara, kata Vaeran waktu itu. Atwirya sudah meminta
Charnd menolak, tapi si penyair bersikeras. Dalam perjalanan mereka
nanti, Charnd hendak menanyakan kabar Melviola. Charnd bahkan yakin
sebenarnya Vaeran bermaksud melanjutkan pencariannya.
Melihat bahwa Melviola tetap ingin merahasiakan keberadaannya dari
Vaeran, terbit kecurigaan dalam benak Atwirya.
“Terkutuklah Vaeran,” geram Atwirya sambil menghimpun
kekuatannya; kekuatan yang telah lama tak dipanggil, apalagi
digunakannya.
Dengan menggosokkan ibu jari ke telunjuk, Atwirya menghubungi
Miitraela untuk meminta lokasi keberadaan Vaeran dan Charnd.
Miitraela langsung menjawab lewat getar yang terasa di kaki Atwirya.
Jawaban yang diberikan oleh sang vaanaadin penguasa daratan tentang
Vaeran cukup jelas, di lingkar luar Perbukitan Tenang, tetapi
Miitraela menolak memberitahukan keadaan Charnd.
“Terkutuklah aku jika Charnd sudah celaka,” umpat sang pejalan
cakrawala. Atwirya kini menghubungi Faerdahvah sang penguasa langit
untuk membawa dirinya dengan angin mengarungi bentangan langit
Vandaria.
*
Segala flora dan fauna di Lembah Hijau di kaki Perbukitan Tenang
menyambut kehadiran Vaeran Iervaanah dengan ketenteraman. Suasana
sang penyihir alam sedang riang. Dia baru saja memakamkan seorang
penyair baik. Tenaga sihirnya sudah terkuras, memang, demi membangun
kompleks permakaman yang layak bagi mantan penyair kesukaannya itu.
Namun, semuanya sepadan. Vaeran puas sekali.
Saat mendapati seseorang bertenaga sihir yang amat besar menghadang
jalannya, Vaeran tidak langsung waswas. Semula Vaeran hanya tidak
mengerti bagaimana bisa ada orang yang menjadi sumber kekuatan
sebesar itu. Begitu sadar bahwa pancaran kekuatan itu diarahkan
dengan mengancam kepada dirinya, barulah Vaeran memperhatikan
sumbernya lekat-lekat.
Rupanya
itu Atwirya, pria tua yang mendampingi Charnd sejak keluarga Darion
dibabat oleh pasukan Negeri Edenion. Tak pernah jelas siapakah
Atwirya sebenarnya dan kenapa dia begitu setia mendampingi Charnd.
Vaeran menemukan mereka sudah berdua menyambung hidup mati-matian di
pinggir Edenion hampir dua puluh tahun yang lalu. Benak Vaeran yang
praktis pun bertanya-tanya, Apabila kekuatannya sebesar
ini, tentu mereka dulu bisa hidup dengan lebih baik?
Bentangan alam tempat mereka bertemu kurang menguntungkan Vaeran.
Apa pula yang bisa diandalkannya? Hanya ada rumput dan bebatuan
sejauh mata memandang. Angin sedang tidak bertiup kencang. Hujan dan
petir tidak mudah dikendalikan.
Bagaimanapun, Vaeran memantapkan pijakan dengan menguatkan tanah dan
rumput di sekitarnya.
“Di mana Charnd?” Atwirya bertanya dengan tegas. Vaeran
mengerjapkan mata dengan takjub. Sosok Atwirya pelan-pelan berubah
menjadi jauh lebih muda dan prima daripada sebelumnya.
“Aku telah memakamkannya,” jawab Vaeran apa adanya, tersenyum
seperti baru memenangkan tongkat seorang penyihir dari duel maut.
“Apa pembelaanmu?”
“Anakmu Charnd telah memadamkan sinar bintangku, Melviola. Dia
sendiri pun tidak bersinar lagi. Sama saja dengan mati. Aku hanya
membantunya.” Vaeran tahu posisinya kurang menguntungkan. Walaupun
tidak suka, dia harus memanfaatkan unsur kejutan.
Vaeran mengetuk-ngetuk tongkat sihirnya. Gerakan ini sebenarnya
untuk menyamarkan telunjuk yang digerakkannya sedikit demi
menerbangkan batu dari belakang Atwirya. Tidak besar, tapi pastilah
cukup untuk membuat lawannya pingsan apabila mengenai kepala.
Atwirya tidak mengelak. Tanpa berbalik badan, batu itu ditangkapnya
dengan sebelah tangan semudah menangkap buah yang dioper dari orang
ke orang dalam perkebunan. Atwirya tersenyum memandangi batu hasil
tangkapannya, lingkar tengahnya hanya sedikit lebih lebar daripada
telapak tangannya. “Kau berpengetahuan luas, Vaeran Iervanaah. Bisa
kau sebutkan ada berapa vaanaadin dalam kepercayaan Vanaadinnahkah?”
“Tiga belas, tapi itu hanya berdasarkan kepercayaan saat ini,”
Vaeran menekuk alisnya. Untuk apa Atwirya menanyakan hal ini?
Mengalihkan perhatiannya?
“Itu tidak keliru. Tiga belas Vaanaadin yang sekarang ada...
beberapa di antaranya tergolong muda. Mereka baru mendapatkan tempat
setelah pendahulu mereka merasa bosan atau diminta mengundurkan diri
sebagai penebus kesalahan.”
Mata Vaeran berbinar, senyumnya mengembang. “Pejalan cakrawala.
Kaukah itu? Sebenarnya sudah sedari dulu aku bertanya-tanya dalam
hatiku tentang kau.” Vaeran merasa senang dan tenang karena dalam
kepercayaan Vanaadinnahkah manusia dianggap lemah atau terkutuk. Maka
seorang Vaanaadin pastilah tidak akan mempermasalahkan perlakuannya
terhadap Charnd.
“Daelanaa, anakku, menggantikan posisiku begitu aku merasa tugasku
sebagai Vaanaadin membosankannya tak tertahankan lagi. Kau tahu apa
yang bisa dilakukan Daelanaa?” Sambil berbicara, batu di tangan
Atwirya membulat dan melicin.
Vaeran menatap batu itu dengan curiga. Diputuskannya untuk
memperkuat pertahanan lagi, menebalkan dan menumbuhkan rerumputan di
sekitarnya. Tapi kakinya malah terjerat oleh rumput yang
ditumbuhkannya sendiri. Vaeran memaki-maki di luar hati, “Tentu
saja, tentu saja, bodohnya aku, Daelanaa sang pemelihara kehidupan.
Kau tentu bisa mengatur segala macam bentuk kehidupan.”
“Itu yang anakku bisa lakukan, penyihir yang tidak baik,” sindir
Atwirya. Batu di tangannya kini bulat sempurna. Warnanya kuning
mengilat dan permukaannya semulus kaca. Sementara Vaeran
menarik-narik kakinya untuk membebaskan diri, Atwirya menimang-nimang
bola itu. “Aku bisa menangkap kehidupan itu sendiri... dan
memasukkannya ke dalam batu ini, misalnya.”
“Jika kau memang Vaanaadin, kenapa kau membela manusia?” tanya
Vaeran dengan sengit. Hanya angin yang tampaknya berada di luar ranah
kekuatan Atwirya, jadi Vaeran berusaha keras mengumpulkan setiap
embusan yang bertiup di Lembah Hijau. Vaeran mengarahkannya kepada
Atwirya sekencang mungkin, tapi tindakannya itu malah membuatnya
terkulai berlutut kehabisan tenaga sihir. Tongkat sihirnya
berkedip-kedip hanya untuk kali kedua seumur hidupnya yang tidak
singkat.
Rerumputan tumbuh semakin tinggi, mengungkungnya di tengah lembah.
Bola mata Atwirya berubah menjadi kabut. Sang pejalan cakrawala pun
berkata, “Kau telah melangkahi posisimu sebagai frameless. Kau
meniadakan seorang manusia dari haknya menjalani hidup di dunia
bersama kaummu.”
Dengan sisa tenaga fisiknya yang sebenarnya terpengaruh melemah,
Vaeran menghunuskan pedangnya. Dengan gerakan cepat yang terlatih,
diayunkannya pedang itu untuk menebas dari samping. Atwirya menangkis
bilah pedang lawan dengan batu yang dipegangnya. Batu itu kini lebih
cocok disebut permata, sesungguhnya.
“Lagipula,” Atwirya meneruskan penjelasannya, “kau sendirilah
penyebab padamnya bintang-bintangmu, Vaeran Iervanaah.”
“Mereka padam karena mereka manusia!” Vaeran meludah ke samping.
“Manusia memang tidak bisa menjaga kekuatan hatinya selayaknya
frameless.” Vaeran berusaha menebas lagi dengan sayatan yang tegas,
tapi Atwirya memegangi bilah pedang Vaeran dengan tangannya yang
bebas.
“Karena kau penyihir alam yang kuat, Vaeran, hukumanmu adalah
menjadi jiwa bagi permata ini, jiwa yang akan membantu siapa pun yang
menjadi Kekasih Alam.” Dengan daya yang kuatnya tak terduga tapi
tidak mementalkan lawannya, Atwirya mendorong bola di tangannya ke
dahi Vaeran. Sang penyihir membelalak dan menganga. Bola yang semula
berwarna kuning langsung memancarkan merah-hijau-biru yang menyengat
mata.
Demikianlah Vaeran lesap menjadi jiwa yang tersimpan dalam permata.
Rupanya lima benda yang dibawa Vaeran saat itu tidak ikut terhisap:
pedang, kalung, tongkat sihir, buku, dan ikat pinggang. Tanpa yakin
apa guna kelima pusaka tersebut, Atwirya sang pejalan cakrawala
membawanya serta.
***
Depok, 20 Desember 2011, 23.57 WIB
Hmm, nama panggungnya Melviola....
BalasHapusjangan-jangan nama aslinya Melody.....
hehehe....
terima kasih, nina :D
BalasHapusbenar nama asli Melviola itu Melody, hehehe