Kembang Jepun by Remy Sylado
My rating: 4 of 5 stars
Penerbit : Gramedia, 2003
Tebal : 328 halaman
Plot utama dalam novel ini adalah kisah cinta antara Keke dan Tjak Broto. Perjuangan mereka mengarungi hidup dan mempertahankan cinta mereka telah melalui tiga zaman: zaman kolonial, zaman pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan. Mereka dipermainkan oleh nasib, dipisahkan oleh jarak, diasingkan oleh waktu. Berkali-kali mereka bersilangan sampai hampir pupus harapan. Akan tetapi, takdir mempertemukan mereka kembali karena mereka masih saling cinta.
Pada zaman kolonial atau zaman penjajahan Belanda, Keke dan Tjak Broto bertemu untuk pertama kali. Saat itu, Keke adalah geisha bernama Keiko di Shinju, sebuah tempat usaha milik orang Jepang di Jalan Kembang Jepun, sedangkan Tjak Broto wartawan surat kabar di Surabaya. Cinta tumbuh di antara mereka. Sebagai simbol cinta mereka, Tjak Broto memberi Keke sebuah liontin yang terpatri mantra supaya pemakainya dikasihi. Beberapa tahun kemudian, Keke meninggalkan Shinju untuk menikah dengan Tjak Broto. Mereka menikah di rumah Mbah Soelis, nenek Tjak Broto dari pihak ayah, karena kurang disetujui oleh ibu Tjak Broto.
gambar dari vitaratnasari.blogdetik.com |
Pada zaman penjajahan Jepang, hidup semakin sulit. Tjak Broto membawa Keke pindah dari Surabaya ke Blitar untuk menjadi petani di tanah milik Mbah Soelis. Karena suatu kesalahpahaman, Tjak Broto ditangkap dan hendak dieksekusi oleh Jepang. Sayang dalam usahanya membebaskan Tjak Broto, Keke malah harus menghadap Hisroshi Masakuni, seorang pelanggannya dulu ketika masih bekerja di Shinju. Komandan Jepang itu menahan dan memaksa Keke menikahinya. Pada zaman pendudukan Jepang ini jugalah persilangan yang pertama terjadi. Pada saat orang-orang Jepang diasingkan ke Kalisosok, Keke melihat Tjak Broto di antara keramaian pribumi. Akan tetapi, Keke yang dipaksa mengenakan seragam tentara Jepang oleh Hiroshi Masakuni tidak tampak oleh Tjak Broto. Keke “dipulangkan” ke Jepang.
Pada zaman kemerdekaan, Keke dan Tjak Broto terpisah ribuan kilometer jauhnya. Keke harus menjalani tahun-tahun pertamanya di Jepang sebagai “istri” Hiroshi Masakuni. Setelah sampai kabar bahwa Hiroshi Masakuni tewas dalam tugas di Korea, Keke keluar dari rumah keluarga Masakuni. Dengan bantuan Yoko, rekannya sesama geisha di Shinju dulu, Keke mulai mengumpulkan uang untuk kembali ke Indonesia.
Sekembalinya di Indonesia, Keke menemui Mbah Soelis di Blitar. Ternyata Tjak Broto sudah menikah lagi karena mengira Keke sudah lama tiada. Keke memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Minahasa walaupun di sana sedang terjadi pemberontakan Permesta. Dalam perjalanannya, Keke ditangkap dan ditahan oleh antek-antek Permesta karena dituduh sebagai mata-mata pemerintah pusat.
Bagaimana Keke dan Tjak Broto dapat bertemu lagi 25 tahun kemudian merupakan mukjizat Yang Maha Kuasa. Meskipun keduanya sudah tua dan tidak cantik lagi, meskipun zaman telah berganti dua kali, mereka masih saling cinta, sebagaimana Keke masih menyimpan liontin pemberian Tjak Broto beberapa puluh tahun silam. Inilah kemegahan cinta yang tulen, yang pernah berakar, dan pernah berantakan, tapi kini kembali, karena nurani yang tidak pernah menyerah (Sylado, 2003: 317).
Remy Sylado berhasil menggambarkan cinta yang murni dan tidak egois. Tjak Broto tulus mencintai Keke walaupun wanita yang dikasihinya itu tidak dapat memberikannya keturunan. Keke juga tidak segan-segan pergi ke Surabaya demi mengusahakan pembebasan Tjak Broto ketika suaminya itu hendak dieksekusi oleh Jepang. Ketidakegoisan tampak manakala Keke tidak memaksa untuk bertemu dengan Tjak Broto yang sudah menikah lagi.
gambar dari indonesiabuku.com |
Profesi Keke sebagai geisha amat mempengaruhi pola pikirnya. Sebagai geisha, Keke menganggap pekerjaannya melayani banyak lelaki adalah suatu kebenaran. Akan tetapi, sejak menerima lamaran Tjak Broto, Keke mulai mempertanyakannya. Selain itu, nilai-nilai kehidupan Jepang yang diajarkan padanya selama di Shinju bercampur dengan nilai-nilai sebagai wanita Indonesia modern yang ditanamkan oleh suaminya. Keduanya mempengaruhi hidup Keke baik dari pola pikir maupun sikapnya.
Latar belakang yang kuat adalah ciri khas dari novel-novel karya Remy Sylado. Kembang Jepun, seperti yang telah disebutkan di novelnya, adalah nama sebuah jalan tak jauh dari Jembatan Merah di Surabaya. Kembang Jepun tadinya bernama Handelstraat. Kupu-kupu malam dari Negeri Sakura yang menjadi bagian dari geliat malam jalan tersebut membuat orang-orang memberinya julukan Kembang Jepun. (www.arsitekturindis.com)
Selain latar belakang tempat, latar belakang waktu juga digarap oleh Remy Sylado dengan sangat teliti. Tiga zaman yang dialami Keke digambarkan sesuai dengan catatan sejarah yang ada. Pada akhir cerita, Remy dapat membuat pembacanya bertanya-tanya apakah cerita dalam novel ini benar-benar pernah terjadi atau dengan kata lain, apakah Keke dan Tjak Broto benar-benar (pernah) ada.
Kembang Jepun dapat dibandingkan dengan Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden karena keduanya sama-sama mengangkat cerita kehidupan seorang wanita yang (pernah) menjadi geisha. Perbedaannya adalah, Memoirs of a Geisha menggambarkan kehidupan seorang geisha secara menyeluruh dan lebih mendetail. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama (akuan), Kembang Jepun lebih berhasil dalam menyentuh hati pembacanya. Perasaan Keke lebih tersampaikan pada pembaca daripada perasaan Chiyo, tokoh utama dalam Memoirs of a Geisha.
gambar dari goodreads.com |
Kemegahan cinta Keke dengan Tjak Broto selama tiga zaman dalam Kembang Jepun memberi kita gambaran akan cinta yang tulen, cinta yang sungguh, atau yang kerap kali disebut-sebut sebagai cinta sejati. Cinta yang seperti itu tidak pernah merasa kalah karena ia selalu mengingatkan orang untuk selalu bertahan dalam penyerahan kepada-Nya.
View all my reviews
nice review.
BalasHapussetelah membaca bukunya, mnrtmu kisah Keke dan Tjak Broto ini nyata ga? ataukah penulisnya yg lihai bisa mbuatnya seolah nyata?
menurutku tidak nyata, tapi mungkin percintaan semacam ini pernah terjadi walaupun nasib mereka jauh berbeda dengan Keke dan Tjak Broto
HapusRemy Sylado memang lihai menulis seolah nyata ;)
Tapi nama jalannya ada kan? dia terinspirasi dari nama jalan itu ya?
Hapussetauku begitu, udah lama sih bikin ripiunya, jadi lupa... (ketauan deh)
HapusAh ada satu buku juga yg judulnya perempuan kembang jepun karya Lan Fang. Mungkin ceritanya satu tema ya, walaopun ak belum pernah baca sih..
BalasHapuskalo dilihat dr ceritanya, apa ngga bikin bosen? Kayaknya kok panjang bgt timeframe nya
tipis kok dan dialognya sangat "hidup"
Hapusga bosenin :)
keren review nya mel =) remy paling jago bikin kisah cinta romantis yg nggak picisan ya..
BalasHapusterima kasih :D
Hapusdulu ini tugas kuliah ;P
picisan ga ya? hihihihi
Wah, bagus kyknya ini buku, jarang banget baca novel lokal soalnya, nanti dech aq coba cari, bisa compare dengan memoirs of geisha :D
BalasHapusbukunya udah susah dicari, dulu juga aku pinjem temen ;p
HapusMba Mel reviewmu~ flawless!
BalasHapusAku masukin ini ke wishlist aaaah~ it sounds very sweet
terima kasih ^^
Hapustapi ada adegan2 dewasa ;)
ada yg agak sadis juga -_-
Jadi inget salah satu novel N.H Dini yang "Namaku Riyoko" (bener ga yah judulnya) pas baca reviewnya Melo ini =D
BalasHapus"Namaku Hiroko" :)
Hapusbedanya geisha sama jugun ianfu apa ya Mel?
BalasHapushmm Geisha itu seperti seniman+pelacur profesional
HapusJugun Ianfu itu gadis2 yang ditipu, diculik, lalu dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang, biasanya diambil dari negara2 jajahan :(
td juga aku kira ini karya La Fang hehehe? Melody suka buku2 budaya gini ya Mel?
BalasHapussuka setelah dijejelin buku2 kayak gini semasa kuliah, hahaha
Hapusbelum pernah baca dan lihat buku ini, sepintas emang mirip Memories of Geisha, hehehe
BalasHapusini buku lama :)
HapusIbuku penggemar Remy Sylado dan pernah cerita kalau dy baca buku ini. Gw siih blm pernah baca, tapi sepertinya menarik.. :D
BalasHapusmenarik pas bagian Keke belajar menjadi geisha
Hapustapi ada tokoh yg disangka mati ternyata masih idup, sinetroniyah gitu :))