Kita Semua Anak Negeri Ini by Fahri Asiza
My rating: 4 of 5 stars
Mengatasi Trauma dan Menjadi Anak Negeri Ini
Kita Semua Anak Negeri Ini dipilih dari novel-novel anak fiksi realistik karya Fahri Asiza lainnya karena judul novel ini memberi kesan adanya pesan moral yang mendalam, yaitu tidak boleh mendiskriminasi teman. Novel ini berkisah seputar tiga orang anak, yaitu Ratih, Lilian, dan Dudi. Cerita dimulai ketika Lilian menjadi murid baru di kelas VIB SD Muhammadiyah 12 Pamulang. Dudi langsung mengejek Lilian karena anak baru itu bermata sipit. Hari itu juga, Dudi menekan Lilian untuk pindah sekolah. Dudi tidak sudi ada anak bermata sipit di sekolahnya. Ratih, teman sebangku Lilian, menegur Dudi akan sikapnya terhadap Lilian itu.
Meskipun Lilian tetap tersenyum dengan sabar menghadapi Dudi, ternyata sikap Dudi itu membuatnya sedih. Lilian jadi teringat peristiwa kerusuhan yang terjadi beberapa bulan silam. Tapi mengapa? Apakah kebencian Dudi sama dengan kebencian orang-orang lain yang pernah merusak segalanya? (Asiza, 2006: 31) Akankah mereka dapat berteman?
Tema yang diusung dalam novel Kita Semua Anak Negeri Ini adalah persahabatan. Tema ini memang sangat cocok untuk novel anak berjenis fiksi realistik. Anak-anak sering bergaul dengan teman-teman sebaya. Persahabatan mereka berpengaruh besar terhadap pola pikir dan perkembangan emosi mereka.
Dalam novel ini, Fahri Asiza menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dengan begitu, pengarang dapat menyelami perasaan beberapa tokoh sekaligus. Perasaan Ratih, Lilian, dan Dudi tertuang dalam novel ini. Bahkan, sedikit banyak perasaan tokoh-tokoh lainnya juga dapat dirasakan oleh pembaca.
Proses identifikasi adalah proses yang terjadi saat seseorang menyesuaikan dan mendekatkan dirinya pada tokoh, baik makhluk hidup maupun benda, di luar dirinya. Tokoh yang dipilih untuk dalam proses identifikasi disebut tokoh identifikasi. Pengarang menyodorkan Ratih, Lilian, dan Dudi sebagai tokoh-tokoh identifikasi. Ratih dan Lilian mewakili tokoh yang baik sedangkan Dudi mewakili tokoh yang buruk. Melalui perkembangan karakter dan tindak-tanduk ketiga tokoh tersebut, anak-anak pembaca novel ini diharapkan bisa memperoleh pedoman yang baik untuk tingkah laku mereka sendiri.
Setiap tokoh dalam novel ini memiliki alasan yang kuat atas sifat-sifat dan tindak-tanduknya. Ratih mewarisi sifat baik hati dari orang tuanya. Ia juga berani menentang Dudi karena ia sudah belajar silat sejak kelas IV. Lilian sedih karena kebencian Dudi mengingatkannya pada peristiwa kerusuhan yang telah lalu. Dudi membenci Lilian karena ia bermata sipit seperti orang yang memecat bapaknya.
Dudi memang mewakili tokoh yang buruk. Namun, bila Ratih dan Lilian bisa diibaratkan sebagai tokoh-tokoh putih, tidak berarti Dudi juga bisa diibaratkan sebagai tokoh hitam. Pengarang menggambarkan Dudi sebagai tokoh abu-abu. Di rumah, Dudi adalah anak yang baik. Dudi berbuat nakal di lingkungan sekolahnya untuk menutupi rasa malunya karena kini ia tidak punya apa-apa lagi. Dengan bersikap galak pada teman-temannya, Dudi berusaha supaya ia disegani oleh mereka.
Novel ini mengajarkan anak-anak nilai-nilai kemanusiaan seperti tidak boleh membenci orang lain dan pentingnya hidup rukun dengan semua orang. Selain itu, novel ini juga memberi tahu anak-anak kalau menjadi anak nakal hanya akan membuat teman-teman menjauh dan mengecewakan orang tua. Pesn-pesan lain yang tersirat dan dapat ditangkap sendiri oleh anak-anak adalah pantang putus asa dalam menghadapi cobaan dan teruslah berbuat baik kepada sesama
Novel ini cukup jelas dan cermat. Tokoh-tokohnya tidak tergesa-gesa dan selalu ada penyebab dari tiap tindakannya. Ratih dan Lilian ke rumah Dudi untuk mencari tahu kenapa Dudi membenci Lilian. Gono menjadi pengikut Dudi supaya mendapat perlindungan Dudi. Bapak Dudi mendapat pekerjaan sebagai balasan jasanya menolong orang lain. Dudi meminta maaf pada teman-temannya setelah menyadari kebaikan hati Ratih dan Lilian. Akan tetapi, novel ini mengandung sedikit flashback. Jalinan ceritanya pun agak rumit. Anak-anak yang tidak biasa membaca akan menemukan sedikit kesulitan.
Timbul kesan menggurui pada novel ini. Beberapa kali kata “harus” ditekankan pada nasihat-nasihat yang dilontarkan tokoh-tokoh dalam novel ini. Kita harus hidup rukun dan damai (Asiza, 2006: 85). Tapi, kamu harus ingat, mungkin mereka menggerutu di belakangmu (Asiza, 2006: 102). Seharusnya kamu tidak boleh bertindak seperti itu (Asiza, 2006: 105). Selain penggunaan kata “harus”, tokoh Ratih dalam novel ini juga sering menasihati teman-temannya. Ratih dapat mengingatkan pembaca pada tokoh Lala dalam sinetron Bidadari. Baik Ratih maupun Lala, keduanya lama-lama akan membuat anak-anak sebal terhadap sikap mereka yang dianggap sok bijaksana.
Sayangnya, pengarang kurang jeli dalam menyusun logika cerita. Kerusuhan terjadi tanggal 16 Mei 1998. Pada bulan Mei berarti sekolah dasar hampir menyelenggarakan ulangan umum. Lilian baru bersekolah kembali tiga bulan setelah kerusuhan itu terjadi. Seharusnya, Lilian tinggal kelas. Akan tetapi, diceritakan bahwa Lilian berusaha mengejar pelajarannya yang tertinggal. “Lian kan harus banyak mempelajari pelajaran yang tertinggal.” (Asiza, 2006: 17) Pengarang mengira-ngira sendiri kalau ada dispensasi bagi anak-anak keturunan pasca kerusuhan. Padahal, kepala sekolah dari SD Muhammadiyah 12 Pamulang yang menjadi latar belakang novel ini mengaku tidak pernah memberikan dispensasi semacam itu.
Hal yang aneh dalam novel ini adalah Lilian sama sekali tidak mengingat teman-temannya sebelum pindah ke Pamulang. Bagaimana mungkin seorang anak bisa lupa begitu saja pada sahabat-sahabatnya di sekolah yang lama? Ketika mendapatkan teman yang baru pun anak akan membandingkan teman baru itu dengan teman lamanya.
Pertanyaan besar yang masih tertinggal pada akhir cerita adalah pertanyaan-pertanyaan Lilian menyangkut kerusuhan. ”Mengapa mereka membakar rumah kita?” “Pa, apa karena kita bermata sipit?” (Asiza, 2006: 18) Anak-anak yang membaca novel ini akan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Selain mengasyikkan, proses ini juga dapat mengembangkan daya pikir anak-anak.
"Kita semua anak negeri ini. Kita harus hidup rukun dan damai.” (Asiza, 2006: 113)
View all my reviews
wah ini novel anak tapi sudah menyinggung2 tentang isu kesetaraan ya, jd ikutan sedih ...btw lamun apaan si Mel? ngalamun ya? apa beda lg?
BalasHapusLamun dalam Lamunyata?
HapusUdah jelas kan
"Lamunan pun Bisa Menjadi Nyata..."
maksudnya khayalan kita pun bisa mewujud nyata, hahayy :p
aih aih lamunan jd nyata, pasti lamunan yg berkualitas tuh. kalo gt aku jg mau ngelamun yg macem2 ah #eh
Hapus