28 Desember, 2010
Clockwork Angel
My rating: 5 of 5 stars
akan diterbitkan oleh Ufuk kira2 April 2011
Ini adalah trilogi dalam dunia yang sama dengan trilogi Mortal Instruments, tapi pada zaman Victoria (abad ke-19) di London. Tokoh utamanya, Tessa, adalah gadis 14 tahun yang baru saja kehilangan bibinya. Sebatang kara di Amerika, Tessa menyusul kakaknya yang sudah lebih dulu pergi ke Inggris. Di sana Tessa diculik oleh dua wanita misterius (yang ternyata warlock) yang kemudian menyekap dan melatih Tessa menggunakan kekuatannya.
Setelah beberapa minggu berusaha di bawah siksaan, Tessa bisa berubah wujud menjadi pemilik benda yang dipegangnya erat-erat. Seorang Pemburu Bayangan bernama William Herondale menolong Tessa ketika hampir dinikahkan dengan sang Magister. Bersama para Pemburu Bayangan di Institut, Tessa mulai mencari kakaknya dan misteri di balik kekuatannya.
Seting yang diambil adalah Inggris 1870-an dengan semangat Zaman Revolusi dan mekanisme. Alur ceritanya lebih tricky alias menjebak daripada Mortal Instruments.
View all my reviews
Ways of Shadows
My rating: 4 of 5 stars
Sejak kecil Azoth hidup sebagai anak jalanan peliharaan Rat bersama sahabatnya, yaitu Jarl dan Doll Girl. Setelah menabung selama empat tahun, Jarl mengeluarkan Azoth dari tempat Rat, lalu Azoth berhasil diterima menjadi murid Durzo Blint, seorang pembunuh bayaran. Azoth harus membayar kehidupan barunya dengan harga tinggi, dia harus mengenakan identitas baru dan melupakan kehidupannya di masa lalu. Kini sebagai Kylar Stern, Azoth terjun ke dalam intrik politik kerajaan. Namun, Kylar tidak bisa melupakan Jarl dan cintanya kepada Doll Girl (Elena).
Gaya penceritaannya bagus dan adegan pertarungannya lebih menarik daripada Assassin’s Creed. Dialog antartokohnya juga mendalam. Detail ajaran Durzo Blint tentang menjadi assassin juga berkesan. Hubungan Kylar dengan tokoh-tokoh lainnya punya keunikan masing-masing. Blint pun tokoh yang berkarakter kuat.
View all my reviews
The Little White Horse
My rating: 2 of 5 stars
Maria Merryweather harus tinggal di rumah sepupunya karena ayahnya meninggal dan meninggalkan banyak utang sehingga rumah mereka terpaksa dijual. Di Moonacre Manor, Maria menemukan banyak misteri, dan berusaha mengungkapnya. Akhirnya ia terlibat di dalam rahasia kelam keluarganya.
Gaya bahasanya indah, dan alur ceritanya mengalir dengan lembut. Penokohannya kuat dan semua tindakan mereka beralasan. Novel ini sudah menjadi best-seller dan difilmkan.
Ceritanya kurang menegangkan. Suasana relijiusnya bisa membuat pemeluk agama selain Kristen kurang nyaman. Selain itu, ada pernikahan antarsepupu yang tidak bisa diterima di Indonesia.
View all my reviews
Raised by Wolves
My rating: 5 of 5 stars
Orangtua Bryn dibunuh oleh serigala gila (disebut Rabid, dan ternyata bernama Wilson), dan Bryn yang waktu itu berusia empat tahun tidak terbunuh karena diselamatkan oleh Callum dan kawanan manusia serigalanya. Sejak saat itu, Bryn menjadi bagian dari kawanan manusia serigala, tapi dititipkan kepada wanita manusia (Alison) yang menikah dengan salah satu manusia serigala itu. Callum meyakinkan Bryn bahwa Rabid sudah mati, tapi tetap melatihnya supaya cukup kuat untuk melindungi diri sekaligus mampu berkomunikasi lewat pikiran dengan manusia serigala.
Ketika Bryn berusia enam belas tahun, Callum menyembunyikan seorang pemuda sebayanya yang baru berubah menjadi manusia serigala. Dalam buku ini, manusia serigala jarang menyerang manusia biasa, dan korbannya selalu mati. Entah mengapa, pemuda bernama Chase ini bisa bertahan dan berubah menjadi manusia serigala. Melalui Chase, Bryn tahu bahwa Rabid masih hidup. Merasa dikhianati, Bryn memberontak dan dihukum oleh Callum. Alison marah dan membawa Bryn pergi ke rumah Lake (satu-satunya manusia serigala perempuan remaja di kawanan Callum) dan ayahnya yang bernama Mitch di pinggiran wilayah Callum. Di sana bersama Lake, Chase, dan sahabat Bryn yang bernama Devon, Bryn mulai menyelidiki Rabid.
Penulisannya rapi dan baik, tapi tidak istimewa. Tokoh yang tergambar dengan baik hanya Bryn karena novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama, tapi penggambaran tokoh-tokoh lainnya pun memadai. Ada sedikit romance, dan itu cukup untuk memancing pembaca yang hanya mau membeli novel fantasi yang mengandung romance. Di sisi lain, karena kandungan romance-nya sedikit, pembaca yang anti-romance pun akan tetap mau membelinya.
Konsep manusia serigala di sini ditekankan pada sifatnya yang hidup dalam kawanan, dan ini sesuatu yang baru. Ini jugalah yang menjadi inti cerita, dan Barnes berhasil menuangkannya dengan baik karena ia sendiri pernah melakukan penelitian terhadap kawanan mamalia liar.
Plotnya dijalin dengan baik dan sulit untuk menebaknya mendului pemahaman Bryn. Akhir ceritanya memukau dan menjelaskan segala tanda tanya yang muncul sepanjang cerita. Seperti The Demon’s Lexicon, meskipun direncanakan menjadi serial, Raised by Wolves bisa dianggap sudah tamat dan tidak memaksa pembaca membeli sekuelnya (sebagian pembaca takut membeli novel yang akan menjerat mereka ke dalam serial dan menguras dompet setiap tahun).
View all my reviews
The Prophecy of the Gem
My rating: 2 of 5 stars
Seorang gadis 14 tahun bernama Joa sedang sekarat. Ia dianggap tidak akan selamat karena sudah kehilangan orang tua dan tidak punya alasan untuk berjuang hidup. Dalam koma, ia memimpikan sebuah negeri khayalan. Di negeri khayalan itu, ada 3 gadis 14 tahun yang ditakdirkan untuk menyelamatkan negeri mereka dari Dewan Dua Belas dan kekuatan jahat Dewan Ke-13. Ketika dihadapkan dengan pilihan sulit, mereka memutuskan untuk mengorbankan diri demi kebaikan orang banyak. Akhirnya mereka semua selamat dan kejahatan lenyap meskipun tidak untuk selamanya. Dalam pertarungan hidup-matinya sendiri, Joa pun memutuskan untuk berjuang dan bangun dari komanya.
Novel ini mengandung nilai dan semangat universal yang memang cocok untuk dibaca oleh remaja. Tema dan garis besar ceritanya juga menarik bagi remaja yang menyukai kisah-kisah fantasi, terutama remaja putri.
Bagian cerita yang bagus hanya tentang Joa, dan itu cuma 7 halaman. Kisah utamanya, tentang gadis-gadis di negeri khayalan, mempunyai banyak kekurangan. Karakter mereka stereotipe, dan perkembangannya kurang terlihat. Kadang-kadang pengarang juga terlalu verbal ketika menjelaskan sifat-sifat mereka. Banyak adegan yang kurang halus dan tergesa-gesa, bahkan terlalu memaksakan kebetulan. Latar belakangnya sangat lemah, padahal biasanya novel fantasi menggunakan latar belakang yang memukau dan memikat pembaca.
Saya terlalu banyak berharap, dan akhirnya dikecewakan. Flavia Bujor menulis novel ini ketika berusia 13 tahun, dan inilah yang dulu menyebabkan novel ini sangat laris. Hal serupa pernah dialami beberapa judul pertama Teenlit yang ditulis oleh remaja.
View all my reviews
The Ogre of Olgefrot
My rating: 3 of 5 stars
Seorang nenek sihir (Hag) dan teman-teman anehnya di asrama khusus orang “tidak biasa” harus berangkat ke pertemuan orang-orang “tidak biasa” se-London. Karena binatang pendamping Hag mogok, ia mencari-cari pengganti dan akhirnya terpaksa pergi dengan Ivo, anak laki-laki dari panti asuhan yang sering mengobrol dengannya. Di pertemuan, tiga nenek cenayang menyuruh mereka (Hag, Ivo, penyihir bernama Dr. Brian, dan troll bernama Ulf) untuk menyelamatkan seorang putri dari ancaman ogre jahat di kastil Ogrefort. Begitu tiba di sana, mereka terkejut menemukan bahwa ogre itu tidak jahat (sudah terlalu lelah untuk berbuat jahat) dan putri itu (Mirella) malah datang sendiri ke Olgrefort karena ingin diubah menjadi burung. Setelah Mirella berubah pikiran dan tidak mau menjadi burung lagi, mereka membereskan kastil itu dan menemukan berbagai hal menarik.
Orangtua Mirella mengirim tentara untuk menyelamatkannya dan tiga nenek cenayang mengirim tiga hantu karena menganggap Hag dan kawan-kawan gagal melaksanakan tugas. Tidak ada yang berhasil menumpas ogre itu (Dennis) atau membawa pulang Mirella. Dennis meminta ketiga bibinya datang untuk memberikan kastilnya, tapi mereka mengeluh dan memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Ketiga bibi ini meninggalkan sebutir telur yang sudah lama seharusnya menetas. Mirella dan Ivo dan anjing mereka yang dinamai Charlie dengan senang hati merawat telur itu.
Penuturannya sangat cocok untuk anak-anak, panjang-pendek kalimatnya sesuai dan punya rima yang enak untuk dibacakan. Setiap karakter dideskripsikan dengan menarik dan ada banyak hal yang lucu dan mengerikan sekaligus, sehingga anak-anak akan tergelitik membacanya.
Sebenarnya novel ini berpotensi bagus, tapi setelah sepertiga bagian pertama yang menunjukkan tanda-tanda ceritanya akan seru, sisanya malah membosankan. Jalan ceritanya memang tidak terduga, tapi malah mengecewakan. Menarik bahwa ternyata ogre itu tidak jahat dan sang putri datang atas kemauannya sendiri, tapi kejadian-kejadian berikutnya pasang surut dan tidak ada tanjakan sampai klimaks. Serbuan tentara dan hantu sempat membuat ceritanya menarik, tapi setelah itu hanya ada ribet sana ribet sini tanpa hal mendebarkan sama sekali. Bahkan telur itu tidak menetas di akhir cerita.
View all my reviews
Going Bovine
My rating: 4 of 5 stars
Cameron Smith ternyata mengidap penyakit Sapi Gila. Demi menemukan obatnya, dia memulai sebuah perjalanan darat bersama orang gerdil yang kecanduan video game. Selama perjalanan, Cameron harus melawan kekuatan jahat bersama pemain jazz legendaris, meloloskan diri dari cengkeraman pemuja setan, dan membantu Dr. X bereksperimen untuk memecahkan misteri alam semesta. Keluarga Smith yang sempat berantakan pun mengalami banyak perkembangan selama Cameron sakit dan menghilang.
Novel ini mengangkat tema yang tidak umum di dalam genre fiksi fantasi, yaitu penyakit sapi gila. Gaya bahasanya sangat lincah dan khas remaja putra. Dengan sudut pandang orang pertama, pembaca akan merasa sangat dekat dan seakan-akan cerita ini sungguhan. Selain itu, makhluk-makhluk ajaib di novel ini tidak pasaran seperti vampir, manusia serigala, atau malaikat biasa. Dengan cara yang tidak menggurui, novel ini juga mengandung nilai-nilai di dalam keluarga dan kemanusiaan.
View all my reviews
The Summoning
My rating: 4 of 5 stars
Sinopsis
The Summoning
Chloe Saunders (15 tahun) panik ketika melihat hantu, lalu dikirim ke Lyle House (asrama perawatan remaja bermasalah) karena dikira mengidap Skizofrenia. Ternyata Lyle House merupakan tempat eksperimen manusia berkekuatan supranatural. Chloe pun kabur bersama tiga remaja lain, yaitu Derek (manusia serigala), Simon (penyihir), dan Rae (pemantik api). Di akhir buku satu, Chloe tertangkap oleh bibinya yang ternyata berkhianat.
The Summoning dikisahkan dengan sudut pandang orang pertama (Chloe), dan penceritaannya sangat berhasil. Seluruh perasaan dan perkembangan pikiran Chloe bisa dirasakan dengan jelas oleh pembaca. Ketegangan terjaga dengan baik, walaupun mungkin terlalu menyeramkan bagi pembaca yang lebih muda (ada zombi). Tapi secara keseluruhan, buku ini aman untuk remaja karena tidak ada aspek-aspek negatif seperti narkoba, pergaulan bebas, dan pembenaran atas kekerasan.
View all my reviews
Charlie Bone karya Jenny Nimo
My rating: 4 of 5 stars
Sinopsis
Ketika berusia 10 tahun, Charlie Bone diketahui punya bakat ajaib. Ketika melihat foto, dia bisa mendengarkan pembicaraan ketika foto/lukisan itu dibuat, termasuk pikiran orang-orang di dalam foto/lukisan itu. Bakat ini pun berkembang dengan Charlie bisa memainkan pikiran orang yang berusaha menghipnotisnya. Akibat bakat ini, nenek Charlie mengirimnya ke sekolah asrama Bloor’s Academy. Sekolah itu berisi ratusan murid yang sepuluh di antaranya adalah anak-anak berbakat ajaib, seperti Billy (7 tahun) yang bisa berbicara kepada binatang dan Gabriel yang bisa mendeteksi perasaan pemilik benda yang disentuhnya. Murid-murid lain biasanya berbakat seni, dan Charlie dimasukkan ke dalam kelompok musik (berjubah biru). Di Bloor’s Academy, Charlie menyelidiki misteri hilangnya seorang anak perempuan (Emma) yang diduga telah dihipnotis oleh Manfred Bloor, anak kepala sekolah. Setelah menyelamatkan Emma, Charlie memutuskan untuk tetap belajar di Bloor’s Academy untuk menolong anak-anak seperti Emma.
Serial Children of the Red King
Serial karya Jenny Nimmo ini telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Hak pembuatan filmnya sudah dibeli oleh Warner Brothers sejak tiga atau empat tahun lalu, tapi mungkin ditunda karena 20th Century Fox mengeluarkan Percy Jackson terlebih dulu. Meskipun awalnya direncanakan untuk berakhir di nomor lima, serial ini berlanjut hingga nomor delapan sebagai finalnya. Tebal halamannya stabil (versi Amerikanya berkisar antara 400 sampai hampir 500 halaman, tapi hurufnya besar-besar). Di Amazon.com dan Goodreads, ratingnya sekitar 4.0 karena serial ini dianggap kurang mendalam bagi pembaca dewasa, tapi mereka setuju anak-anak akan menyukainya.
Inti cerita dalam serial ini adalah Charlie berusaha menguak plot-plot tersembunyi di antara para keturunan the Red King, yaitu keluarga Bloor dan keluarga asal anak-anak berbakat ajaib (termasuk keluarganya sendiri dari garis ayah). Charlie pun berusaha mencari ayahnya yang diduga telah tewas, tapi sebenarnya menghilang. Anak-anak berbakat ajaib ini nantinya bisa menggunakan sihir untuk melawan kejahatan.
Penceritaannya ringan dan menarik, juga langsung masuk ke dalam kasus. Jenny pun berhasil menulis dari sudut pandang anak-anak, sehingga cara berpikir Charlie bisa ditangkap oleh pembaca. Tokoh-tokohnya juga unik, apalagi sebagian besar dari mereka punya bakat ajaib. Nomor-nomor berikutnya dalam serial ini juga berisi petualangan dan usaha yang berhubungan dengan hal-hal ajaib seperti mesin waktu dan boa biru.
View all my reviews
Paranormalcy
My rating: 3 of 5 stars
Evie (16 tahun) dibuang oleh orangtuanya sejak kecil, dan sepuluh tahun yang lalu diambil oleh IPCA (International Paranormal Containment Agency, semacam organisasi penertib makhluk gaib/paranormal) dan membantu mereka mengamankan paranormal yang “nakal”. Kegemparan terjadi ketika banyak paranormal mati (atau mati lagi, bagi vampir) secara berturut-turut. Evie pun terus-menerus diganggu oleh peri bernama Reth (semacam mantan pacarnya) dan seorang shapeshifter bernama Lend menyusup ke dalam IPCA.
Melalui Lend dan Reth, yang juga memperebutkan hatinya, Evie mengetahui bahwa ia merupakan inti dari sebuah ramalan misterius buatan kaum peri. Kekuatan jahat yang sedang mengambili jiwa paranormal adalah dirinya yang lain (bernama Vivian), dan Evie harus memilih untuk bergabung bersama Vivian atau melawannya. Tapi kalau Evie menolak melakukan hal yang sama seperti Vivian (mengambili jiwa paranormal), Evie tidak akan dapat melanjutkan hidupnya, karena selama ini pun dia tak punya jiwa dan hanya menggunakan secuil jiwa yang diberikan oleh Reth.
Ide ceritanya menarik (agensi penertib makhluk gaib/pararnomal) dan melibatkan semua makhluk yang sedang ngetren di kalangan pembaca muda, yaitu vampir, manusia serigala, peri, shapeshifter. Sampulnya bagus dan banyak penulis laris remaja mendukung novel ini, yaitu Lisa McMann (trilogi Wake, Gramedia), Becca Fitzpatrick (Hush Hush, Ufuk), Apprilynne Pike (Wings, Gramedia tapi belum terbit), Carrie Ryan (The Forest of Hands and Teeth, Kubika).
Gaya penceritaannya kurang bagus. Meskipun suara dan karakter Evie sebagai remaja terkesan lincah dan nyata, interaksi antartokohnya terlalu kaku dan dipaksakan lucunya. Mengalirnya antaradegan bisa menimbulkan rasa bosan dan romantismenya payah, sama sekali tidak menggigit seperti Clary-Jace-Simon, atau Nora dengan Patch. Selama membaca novel ini, saya terus-menerus berharap yang menulisnya adalah Sarah Rees Brennan (penulis the Demon's Lexicon) atau penulis lain yang bisa menggarap ide cerita dengan lebih baik.
View all my reviews
31 Agustus, 2010
Lament: Ratapan Gadis Peri
Deirdre Monaghan (Dee) tidak menyangka bakat musiknya akan menarik perhatian peri, dan itu semua dimulai pada festival musik yang diikutinya. Siapa yang kira ketika ia sedang dalam kondisi terburuk (muntah akibat gugup sebelum pertunjukan), seorang pria tampan membantunya menenangkan diri? Tidak cukup sampai di situ, lelaki yang mengaku bernama Luke ini bahkan entah bagaimana berpasangan dengannya dalam pertunjukan: Dee bermain harpa, Luke bermain flute. Didampingi oleh Luke, Dee berhasil memukau penonton dengan suaranya yang sejernih malaikat. Setelah semuanya usai, Luke menghilang begitu saja.
Itulah awal pertemuan Dee dengan Luke, sekaligus awal segala bencana yang melanda gadis 16 tahun itu. Orang-orang terdekatnya mengalami musibah, dan Dee terus-menerus diintai atau dibuntuti. Apa peran Luke dalam semua ini? Bisakah Dee memercayainya? Bagaimana dengan perasaan yang mulai tumbuh di dalam dada Dee?
Lament karya Maggie Stiefvater bukanlah novel fantasi kontemporer biasa. Maggie berhasil membungkusnya dengan musik dan romansa yang menggetarkan. Kehadiran Luke mungkin mengingatkan kita dengan Patch dari Hush Hush, tapi dalam versi yang lebih dewasa dan lebih tenang. Sementara itu, Dee adalah heroine yang semula tampak biasa saja, bahkan rapuh, tapi ternyata ia kuat dan tidak gentar. Humor yang dilontarkan oleh sahabat Dee, namanya James, bisa mengingatkan kita kepada Simon dari serial The Mortal Instruments.
Tentu saja, Maggie tidak sekadar mencampur baur apa yang telah ada dalam novel-novel remaja lainnya. Lament akan menghanyutkan kita ke dalam alunannya, dan membuai kita dalam liris kata-katanya.
Baca bab pertamanya di http://nyanyianbahasa.wordpress.com/mengunduh/
22 Juli, 2010
City of Ashes Terbit 28 Juli 2010
Clary hanya ingin hidup normal kembali, tapi ia telanjur terlibat dengan para Pemburu Bayangan yang bertugas membantai iblis. Masalah semakin menjadi-jadi karena ibunya tidak bisa dibangunkan dan Clary tidak bisa berhenti mencintai Jace. Tentu saja ini menyakiti hati Simon, yang mendadak pergi ke sarang vampir seorang diri. Valentine pun datang lagi, kali ini untuk mengambil Pedang Mortal. Lagi-lagi dia menawari Jace untuk ikut dengannya. Ketika Jace diketahui telah pergi untuk menemui Valentine, akankah Clary tetap memercayainya?
Dalam sekuel City of Bones ini, ketegangan menanjak dan konflik semakin tajam!
Untuk keterangan lebih lengkap, termasuk cara membeli novel City of Ashes ini, hubungi Ufuk Press di 021-7976587/79192866.
22 Juni, 2010
Assassin’s Creed Renaissance: Kebenaran Akan Ditulis dengan Darah
Penerbit: Ufuk Press, Juni 2010
Harga: Rp89.900,00
Novel ini akan mempertemukan kita dengan Ezio Auditore, seorang pemuda tampan dan gagah, di kota Florence kebanggaan Italia. Sebagai calon pewaris salah satu bank terbesar di Italia pada masa itu, Ezio menghabiskan hari-harinya dengan membantu pekerjaan ayahnya…, kalau dia tidak sedang sibuk berpacaran dengan Cristina atau berkelahi dengan pewaris Pazzi yang congkak!
Namun, tiba-tiba hari-hari indahnya sirna ketika keluarganya dituduh mengkhianati Florence, bahkan ayah dan saudara-saudara laki-laki Ezio dihukum gantung di tengah kota. Setelah menyembunyikan ibu dan adik perempuannya, Ezio bertekad untuk memulai rangkaian pembalasan dendamnya, tapi ternyata masalah mereka lebih pelik dan mendalam daripada yang bisa Ezio duga.
Ayah Ezio adalah anggota Ordo Assassins yang telah lama berperang dengan Templars demi menggagalkan rencana jahat mereka yang ingin menguasai dunia. Ezio menemukan baju tarung ayahnya, sebuah senjata antik, dan secarik halaman Codex misterius. Dengan bantuan Leonardo da Vinci, Ezio berhasil memperbaiki senjata itu dan membuat senjata-senjata lainnya ketika semakin banyak halaman Codex yang dia kumpulkan dari musuh-musuhnya. Codex ini pula yang akan membimbing Ezio menuju rahasia terdalam Ordo Assassins, juga kekuatan terpendam di bawah Vatikan yang dikira sanggup menghancurkan dunia.
Menjelajahi Italia pada Zaman Renaissance
Novel ini dibuat berdasarkan game terlaris Ubisoft yang berjudul Assassin’s Creed II, juga sudah diadaptasi ke dalam bentuk layar lebar. Game bergenre role playing game memang biasanya mempunyai alur cerita yang kuat, tapi tidak diragukan lagi bahwa Assassin’s Creed II dibuat dengan bobot khusus dan kedalaman cerita yang setara dengan novelnya. Sementara tokoh utama dalam game Assassin’s Creed II berpindah-pindah dari masa kini ke masa lalu (dengan memasuki “pengalaman” Ezio), novelnya secara konsisten bercerita tentang Ezio Auditore di Italia abad 15-16.
Salah satu kekuatan dalam novel dan game ini adalah setingnya. Memang kalau kita memainkan game Assassin’s Creed II, kita bisa melihat langsung keindahan kota Florence dan tempat-tempat lainnya yang dikunjungi oleh Ezio di Italia. Namun, Oliver Bowden sebagai pengarang juga pandai menguraikan seting tersebut dalam kata-kata, bahkan memasukkan perasaan Ezio (yang tidak bisa disampaikan lewat game) terhadap Florence kota kelahirannya. Bowden tidak hanya berhasil menyajikan seperti apa kota-kota tersebut, tapi juga apa yang sedang terjadi di sana pada masa itu. Semangat dan kecemasan orang-orang Venesia terhadap abad baru (yang disertai desas-desus hari kiamat) adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dipercikkan kepada pembaca lewat novel ini.
Hal menarik lainnya dalam novel Assassin’s Creed: Renaissance adalah keberadaan tokoh-tokoh nyata yang difiktifkan. Kita akan diajak masuk ke dalam ruang kerja Leonardo da Vinci sang seniman sekaligus penemu, dan melihat bagaimana Niccolò Machiavelli sang filsuf terinspirasi untuk menulis bukunya yang terkenal, The Prince, tentang negara yang kuat. Ada juga pastor Savonarola yang memang pernah memerintah secara paksa di Florence pada 1494-1498. Musuh utama dalam novel ini, Rodrigo Borgia, adalah versi fiktif dari seorang kardinal Spanyol yang menjadi Paus Alexander VI pada masa senjanya. Bahkan, usaha pembunuhan Lorenzo de’ Medici (pemimpin Florence) oleh keluarga Pazzi diangkat dari kejadian nyata.
Bagaimanapun juga, membaca novel ini butuh kehati-hatian dalam berpikir. Ezio membunuh musuh-musuhnya, tapi dia tidak melakukan itu dengan senang dan berpuas hati (kecuali ketika membunuh dua orang yang menyebabkan kematian keluarganya secara langsung). Ordo Assassins juga menegakkan kebenaran dengan membunuh para Templars yang serakah dan merusak kedamaian. Tidak diragukan lagi, adegan sadis (tapi tidak membuat mual) berhamburan di mana-mana. Apakah ini cara yang benar untuk menegakkan kebenaran? Pembaca yang belum dewasa pikirannya sebaiknya tidak membaca buku ini sendirian.
18 Juni, 2010
Blaze of Glory: Jika Penyihir Bermain-main dengan Kematian
Apa yang akan kau lakukan kalau menjadi Aubrey Fitzwilliam, putra tunggal dari mantan perdana menteri yang disegani? Semua orang menaruh harapan tinggi padanya, sekaligus menantinya jatuh supaya mereka bisa mencemari nama baik ayahnya. Aubrey pun berusaha memenuhi harapan itu dengan mencetak prestasi yang luar biasa di sekolah, tapi sebuah kecelakaan sihir hampir menjungkir segalanya.
Sejak kecil, bakat sihir Aubrey sudah jelas terlihat. Dia bisa menerapkan hukum-hukum sihir yang rumit untuk menguping orangtuanya di perpustakaan atau membekukan air dengan semburan api. Kini di tahun terakhir sekolahnya, Aubrey yang sudah berusia tujuh belas tahun tidak sabar lagi untuk mengukir namanya dalam sejarah perkembangan ilmu sihir. Dia memasuki bidang sihir yang terlarang dengan membuka pintu kematian…, dan tidak bisa menutupnya kembali.
Berkat sahabatnya yang bernama George, Aubrey berhasil mengelak dari kematian, tapi benang yang menghubungkan jiwa dengan raganya sangat tipis dan ikatannya tidak lebih kencang daripada tali sepatu. Namun, kelemahan ini tidak membuat nyalinya surut ketika ada pembunuh misterius pada acara berburu yang diadakan oleh sepupunya, yaitu Putra Mahkota Albert. Ternyata pembunuh itu hanyalah golem yang dikendalikan oleh penyihir kuat yang cukup lihai untuk tidak meninggalkan bekasnya. Tidak lama setelah kejadian itu, seorang profesor dari lembaga penelitian rahasia juga tewas. Ayah Aubrey yang sedang berkampanye untuk menjadi perdana menteri lagi pun diculik.
Siapakah dalang di balik semua kejahatan ini? Mata-mata dari negara tetangga, Holmland, yang dicurigai hendak mencaplok Albion? Pengkhianat di dalam Kerajaan Albion sendiri? Atau para pemberontak yang bergabung dalam Pasukan Albion Baru?
Bersama anak gadis profesor tadi, Caroline yang tangguh, Aubrey menyelidiki rangkaian misteri yang mengancam nyawa ayahnya sekaligus kedamaian negerinya. George pun ikut serta demi memastikan keselamatan Aubrey, sekaligus menyadarkan sahabatnya itu tentang perasaannya kepada Caroline.
Penyihir Detektif
Bayangkanlah jika Trio Detektif bisa menggunakan sihir dalam penyelidikan-penyelidikan mereka. Kira-kira seperti itulah yang dilakukan oleh Aubrey. Dia menggunakan logika dan keahlian sihirnya yang istimewa untuk menganalisis petunjuk dan fakta yang ada. Sihir yang digunakan oleh Aubrey pun mempunyai penjelasan-penjelasan ilmiah (karena dalam novel ini, sihir sudah diperlakukan sebagai sains) dan hukum-hukumnya bisa diterapkan dalam berbagai kondisi.
Jangan khawatir, Michael Pryor masih menyediakan banyak hal menarik lainnya dalam buku pertama trilogi The Laws of Magic ini. Kita akan dibawa ke “Inggris” pada awal abad kedua puluh. Pryor menggambarkan perkembangan sosial dan teknologinya dengan baik. Melalui tokoh Aubrey, kita bisa mengintip pandangan orang-orang masa itu terhadap nasib buruh, emansipasi wanita, penemuan kereta api, dan percetakan. Semua itu disentuh sesuai laju alur cerita, dan kecerdasan Aubrey dalam menangkap intinya memastikan kita tidak perlu berpikir terlalu rumit.
Kenapa “Inggris”? Albion adalah nama pertama yang diberikan kepada daratan Inggris. Dalam novel ini pun disebutkan bahwa Albion adalah sebuah kerajaan kepulauan dengan negara-negara tetangga di Benua yang terletak di seberang lautan. Jadi, kira-kira negara manakah yang dimaksud dengan “Holmland”? Biarlah masing-masing pembaca yang menafsirkannya sendiri.
Meskipun beraroma hal-hal serius seperti kematian dan penyelidikan, novel ini bisa membuat kita tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah Aubrey. Tokoh utama ini sangat unik. Di satu sisi, dia berusaha kelihatan sempurna layaknya gentleman sejati, tapi di sisi lain dia hanyalah remaja laki-laki biasa dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan cenderung nakal. Apalagi ketika berhadapan dengan Caroline, Aubrey malah tidak bisa mengendalikan kata-katanya, bahkan gagal dalam sebagian besar usahanya untuk membuat gadis itu terkesan. Akhir cerita Blaze of Glory pun membuat kita puas sekaligus penasaran tentang kelanjutannya.
The Demon's Lexicon: Dusta Seorang Kakak
Kategori: Novel
ISBN: 978-602-8801-09-6
Ukuran: 14 x 20.5 cm
Halaman: 360 halaman
Terbit: Mei 2010 oleh Ufuk Press
Harga: Rp54.900,00
Apa kesamaan Harry Potter dan Clary (City of Bones)? Sepanjang hidup, mereka disembunyikan dari jati diri mereka yang sebenarnya. Harry tidak pernah diberi tahu oleh paman dan bibinya bahwa orangtuanya adalah penyihir. Bahkan ibu Clary sendiri yang meminta seorang warlock untuk membuat Clary tidak bisa melihat Dunia Bayangan, supaya putrinya itu tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya ras pemburu iblis. Bagaimana dengan tokoh utama di novel ini?
Nick Ryves tahu bahwa penyihir adalah manusia berkekuatan gaib yang membuat kesepakatan dengan iblis, menumbalkan manusia lainnya demi mendapatkan kekuatan atau kekuasaan. Dia tahu para penyihir jahat mengejar-ngejar keluarganya demi mendapatkan jimat sakti yang dikenakan oleh ibunya. Dia tahu ayahnya tewas dan kakaknya, Alan, menjadi pincang demi melindungi mereka. Ya, Nick tahu segalanya, atau setidaknya begitulah yang dia kira.
Novel ini beralur cepat dan tidak bertele-tele. Ketegangan langsung disajikan sejak halaman-halaman awal dan pengarang tidak akan menyiksa pembaca dengan detail-detail yang memusingkan. Bagaimanapun juga, ketika hal-hal kecil tentang lingkungan supranatural disuguhkan, pembaca akan menyelaminya dengan nikmat. Tempat yang paling menarik adalah Pasar Goblin dengan perdagangan barang-barang sihir, musik yang unik, dan tarian pemanggil iblis. Latar belakang tempat lainnya tidak terlalu istimewa, sehingga mungkin akan mengecewakan pembaca yang mengharapkan dunia baru semegah Narnia.
Setelah membaca novel ini, saya paling terkesan oleh tokoh Alan. Kisah di dalam novel ini memang berpusat pada Nick sebagai tokoh utamanya, tapi Alanlah yang mengetahui segalanya dan memutuskan untuk merahasiakan banyak hal dari Nick. Bahkan ketika Nick merasa berhasil menyelidiki masa lalu kakaknya dan membongkar rahasia serta rencana Alan, ternyata dia baru menyingkap permukaannya. Apa yang tersembunyi di baliknya adalah kenyataan yang tidak pernah terlintas di benak Nick.
Mengapa Alan berdusta? Nick tentunya kecewa, bahkan sempat berusaha menyakiti Alan sebagai pelampiasannya. Namun Alan selalu sabar, dan Nick tidak sanggup berpisah dari sosok yang merawatnya sejak kecil itu. Apa pun yang Alan lakukan adalah demi Nick, meskipun Nick sering berprasangka kakaknya lebih mementingkan orang lain.
Pergulatan emosional ini jugalah yang menjadi keandalan The Demon’s Lexicon. Pembaca diajak mendampingi Nick saat berusaha memahami perasaannya sendiri yang rumit, juga saat berusaha membaca raut wajah dan maksud tindakan-tindakan kakaknya. Semua itu akan mengantar pembaca ke akhir cerita yang memuaskan ketika Nick memahami alasan kakaknya berdusta sekaligus betapa kuat pemuda pincang itu sesungguhnya.
08 Januari, 2010
Lomba Resensi buku HUSH HUSH karya BECCA FITZPATRICK
Hadiah:
Juara I
- Uang tunai senilai Rp. 700.000,-
- Voucher belanja buku Ufuk apa saja senilai nominal Rp. 1.000.000,-
- Piagam Penghargaan
Juara II
- Uang tunai senilai Rp. 500.000,-
- Voucher belanja buku Ufuk apa saja senilai nominal Rp. 750.000,-
- Piagam Penghargaan
Juara III
- Uang tunai senilai Rp. 300.000,-
- Voucher belanja buku Ufuk apa saja senilai nominal Rp. 500.000,-
- Piagam Penghargaan
Persyaratan dan ketentuan lomba sebagai berikut:
- Lomba terbuka untuk warga negara Indonesia.
- Resensi berupa karya asli, bukan terjemahan atau saduran.
- Panjang resensi sejumlah 400 – 500 kata
- Hasil resensi diposting di blog pribadi masing-masing dan atau website
- Peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 resensi, namun di dalam blog/website yang berbeda
- Peserta bukan karyawan Penerbit Ufuk
- Kirimkan email berisi link resensi tersebut dan biodata plus foto kamu ke lombaufuk@gmail.com paling lambat 15 April 2010, cantumkan “Lomba Resensi HUSH HUSH” di subject email
- Pemenang akan diumumkan di situs Ufuk (www.ufukpress.com) dan via email tanggal 30 April 2010
Untuk keterangan lebih lanjut hubungi Redaksi Ufuk
Email: redaksi@ufukpress.com
No telp: 021-7976587 ext 1 (editorial) atau 08561072712